Book 1 - Goal 41: Pertandingan Terakhir Sebelum Menemuimu

143 5 0
                                    

Matchday 34

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matchday 34. Vitesse Arnhem memimpin perebutan tahta Eredivisie dengan keunggulan 2 poin. Di bawahnya persis SC Heerenveen mengejar dengan koleksi 80 poin. Posisi ketiga ditempati Ajax dengan 70 poin. Tempat keempat diduduki PSV dengan 66 poin. FC Volendam mengekor di posisi lima dengan 66 poin, hanya kalah produktivitas gol dari PSV. Terpaut 8 selisih gol. Mau tidak mau, untuk membuka peluang, Volendam harus memenangkan pertandingan terakhir. Dan, lawan mereka berikutnya adalah tim terkuat di musim ini. Vitesse Arnhem.

Drama akhir musim melanda Eredivisie. Penentuan juara masih belum bisa ditebak ujungnya. Dan, jika Volendam ingin membuka peluang satu tempat di kompetisi Eropa, mereka sebaiknya memenangkan pertandingan ini. Jikaterjebak di posisi lima, mereka harus melewati babak play off Europe League.

**

"Hey, besok pertandingan terakhir ya? Kau akan melawan Jayden lagi?" tanya suara dari panggilan seberang.

Adam berdiri di balkon apartemennya, menghadap pemandangan kota sembari memegang layar ponsel yang menampilkan panggilan video dari seseorang. Sudah dua bulan sejak dia pindah dari rumah yang dipinjamkan agennya, Alexander Hoffman (liat chapter 2). Kini dia memilih kediamannya sendiri.

"Iya. Pertandingan yang sangat menentukan. Aku sedikit deg-degan. Tapi aku sudah siap. Kami harus memenangkan pertandingan besok." Adam tersenyum merespons pertanyaan lawan bicaranya.

"Aku yakin kalian akan menang kali ini dan kau mencetak gol," kata Clara memberi semangat dengan mengepal jemarinya.

Adam terkekeh. "Makasih. Aku jadi makin bersemangat."

"Setelah musim berakhir, kau akan ke mana? Musim ini kontrakmu bersama Volendam akan habis. Kau punya destinasi selanjutnya?"

"Aku sedang membicarakan kontrak baru bersama klub. Aku tidak akan meninggalkan Volendam. Kurasa orang-orang di sini sangat bersemangat untuk musim depan. Aku percaya kami bisa memenangkan liga tahun depan."

"Syukurlah kalau begitu. Aku yakin apa pun keputusanmu, itu akan menjadi yang terbaik. Omong-omong, libur akhir musim ini kau nggak pulang ke Indonesia?"

"Pulang dong," sahut Adam menumpu lengannya pada pembatas balkon yang berbentuk pagar kayu. "Tapi sebelum pulang, aku berencana main ke London."

"Dalam rangka apa? Ada temanmu yang tinggal di sini?" tanya Clara terkejut.

"Tentu saja ada."

"Pemain bola juga?"

"Bukan." Adam menggeleng. "Kau. Kau kan temanku. Mau kan mengajakmu main selama di sana?"

Pipinya merona. Suara Clara sedikit gugup. "Te... tentu saja. Datanglah. Nanti akan kuajak ke tempat yang seru."

Adam bisa melihat perubahan wajah Clara sehingga membuatnya terkekeh.

"Kenapa kau ketawa?" Clara merasa malu.

"Nggak. Ga ada apa-apa. Ya sudah, kau kembalilah dengan kesibukanmu. Jangan sampai kau gagal jadi dokter dan membunuh seseorang tak bersalah," kata Adam menggoda.

"Sialan. Ya sudah. Kau segeralah istirahat. Besok akan jadi hari penting bagimu."

"Oke. Terima kasih atas dukungannya dan selamat malam."

"Selamat malam juga, Adam."

Clara mengakhiri panggilan lalu menempelkan ponsel ke dadanya. Senyumnya mengembang dan benaknya mulai membayangkan apa saja yang akan dia lakukan dengan Adam saat laki-laki itu menemuinya nanti.

Malam itu berakhir cepat, hari esok pun tiba. Hari yang mendebarkan bagi seluruh tim.

**

Para pemain menuruni bus. Langkah Adam melambat melihat antusias pendukung yang meluap dari luar stadion. "Kami percaya kalian bisa. Buat sejarah dan tampillah di Europe League!" kata para pendukung meneriaki pemain.

Dukungan yang berisi harapan adalah pedang bermata dua. Bisa sebagai penyembuh dan bisa pula membunuh. Penyembuh bagi kekhawatiran pemain, dan membunuh mental pemain jika harapan gagal diraih.

Adam berusaha tenang. Dia menarik napas dalam-dalam. Aku bisa melakukannya. Ini adalah pertandingan yang penting dan aku ingin melewati batasku. Akan kubuktikan aku bisa berkembang lebih baik lagi. Katanya dalam hati.

Di ruang ganti, Julio mulai memberikan arahan. Dia sudah siap dengan papan taktiknya. Asistennya, Alphonso Velasco, membantu Julio menyiapkan papan taktik. Seluruh pemain duduk di bangku masing-masing memerhatikan setiap arahan Julio.

"Dengar. Hari ini adalah partai hidup mati. Jika gagal membokongi PSV, kalian memang masih bisa mendapat kesempatan melalui play off. Tetapi itu berarti kalian juga masih punya jurang yang berpotensi membuat kalian gagal lagi. Jadi, pertaruhkan segalanya pada pertandingan ini," kata Julio berorasi.

Julio mulai menata biji yang menempel pada papan. Matanya menatap ke arah pemain yang ditunjuknya sesuai papan taktik.

"Kita akan bermain lebih defensif kali ini. Posisi Ledion akan kuganti dengan gelandang bertahan yang akan ditempati Ross. Di depannya kupercayakan pada double pivote Ivo-Siegfried. Ross, kau punya stamina yang bagus. Berikan pressing ketat setiap kali pemain lawan bermain di areamu. Jangan lengah terhadap Jayden Rossen. Orang itu selain tajam dalam mencetak gol, dia juga lihai dalam mendribel bola. Oh iya, Thom, kau juga harus berhati-hati terhadap Luca Caracco. Bek sayap satu ini cukup memberi andil dalam fase serang Vitesse. Kita akan bermain menggunakan skema serangan balik karena musuh unggul di awal babak dengan kemampuan individu mereka. Tapi jangan khawatir, kita akan mematahkan serangan mereka. Berusahalah, kawan-kawan."

Setelah dibubarkan, para pemain keluar dari ruang ganti. Di lorong masuk menuju stadion, para pemain Vitesse sudah terlebih dahulu berbaris. Adam berjalan dan melirik ke samping. Jayden berada tepat di sebelahnya.

"Senang bertemu dalam keadaan berperang, kawan," sapa Jayden.

"Semoga kau menikmati kekalahan ini, Jayden," sahut Adam tertawa percaya diri.

"Coba kita hitung berapa jumlah golku nanti dibandingkan kau yang tidak bisa mencetak gol di pertandingan ini."

Adam mencibir. "Kau hanya bisa mencetak gol nanti malam. Dalam mimpimu."

Jayden memberikan tatapan tajam. Dalam urusan sepak bola, dia tidak ingin kalah. Terkhusus melawan orang yang sudah dia anggap sebagai rival.

Para pemain berjalan memasuki lapangan. Penonton bersorak riuh. Adam semakin bersemangat untuk memenangkan pertandingan ini.

Dari belakang, Vesel mencolek pundak Adam. Adam memberikan tatapan bertanya.

"Akan kubantu kau memenangkan pertarungan ini melawan rivalmu itu."

Adam tersenyum optimis. "Terima kasih Vesel. Mari menangkan pertandingan ini."

Para pemain mengambil posisi di lapangan. Kick off pertama untuk Volendam. Wasit membunyikan peluit dan jarum jam mulai berjalan.

WonderkidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang