Goal 27: How to Love Your Nation

258 6 0
                                    

"Senyuuuuuum..." kata Youri Oosterhoff. Dia mengacungkan handphonenya tinggi-tinggi dan menyuruh kami berpose.

"Huh, anak ini. Selalu menggunakan kameranya setiap saat," keluh Siegfried Dolaini.

"Tidak ada salahnya kan?"

"Terserah kaulah."

Tidak lama kemudian, pramusaji mengantarkan makanan ke meja kami.

"Terima kasih," kataku begitu pramusaji itu selesai meletakkan makanan.

Siang ini aku, Youri, Patrick dan Siegfried pergi makan bersama di salah satu restaurant dekat tempat latihan. Hari ini tidak ada latihan karena besok kami akan bertanding melawan FC Groningen. Youri adalah seorang periang dan senang memotret apa pun yang dia rasa menarik. Mungkin kami bisa akrab dengan mudah karena usianya tidak jauh dariku. Dia berumur 18 dan aku 19.

"Eh, Beatrix. Kau sedang makan di sini juga?" kata Youri tiba-tiba. Dia berbicara dengan seorang wanita berumur 20-an yang berjalan ke arah kami.

"Oh, Youri. Iya. Lucas juga bersamaku. Tuh dia," wanita itu menunjuk ke arah belakang. Ada seorang laki-laki yang mengikutinya. Eh, bukannya itu Lucas Araujo pemain belakang timnas Belanda?

"Wah, ada Youri," ucap Lucas.

"Halo, kalian teman-temannya Youri ya? Apakah kalian juga pemain sepakbola?"

"Benar," sahutku.

"Aku kakaknya Youri. Beatrix Oosterhoff."

"Aku Adam Altarian dan ini Siegried Dolaini dan Patrick Damen," kataku mengenalkan teman-temanku.

Lucas memberikan tangannya kepada kami. "Aku sudah tahu kalian. Para pemain tangguh dari FC Volendam. Aku Lucas."

"Aku tidak menyangka bisa bertemu bintang timnas Belanda di sini," kata Siegfried.

"Haha, ini bukan pertemuan istimewa. Lebih istimewa jika kita bertemu di lapangan nanti."

"Hei, teman-teman. Jika kalian bertanya-tanya kenapa Lucas bisa pergi bersama kakakku, jawabannya adalah karena Lucas adalah suaminya Beatrix," Youri menjelaskan.

"Wah, jalan-jalan akhir pekan," kataku.

"Boleh kami bergabung di meja kalian?" tanya Beatrix.

"Tentu saja," sahut Patrick

Setelah menyantap makanan, kami menggunakan waktu kami untuk mengobrol.

"Ngomong-ngomong, Lucas, aku ingin menanyakan sesuatu," ucap Patrick.

"Ya,  silakan."

"Ada banyak pemain di dunia ini yang bermain di timnas yang bukan merupakan negara asalnya. Mereka terikat dengan negara itu hanya karena keturunan dari orang tua, bukan dari asal mereka lahir dan hidup, ataupun alasan patriotisme lainnya. Menurutmu, apakah pemain-pemain seperti itu benar-benar bermain di timnas tulus dari hati mereka?"

Lucas terdiam sebentar, kemudian tersenyum sebelum membuka suara. "Ini rumit sebenarnya. Kau tahu, semua orang punya pemikiran yang beragam. Tetapi kita harus menghormati mereka dan tidak boleh berpikiran buruk. Aku adalah contoh nyata. Sebelum aku membela timnas Belanda, dalam lubuk hatiku, aku sangat ingin mengenakan seragam timnas Brazil. Aku tidak beruntung karena mereka tidak pernah memanggilku. Di sini, aku berusaha keras untuk meningkatkan kemampuanku. Heerenveen sangat berjasa membuatku menjadi seperti sekarang. Saat tawaran dari timnas Belanda datang, aku tidak ragu menerimanya. Sebagian hidupku telah berada di sini. Aku tumbuh di Belanda sebagai pemain sepakbola. Aku memiliki istri seorang Belanda. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak menjadi warga Belanda. Inilah caraku berterimakasih untuk negeri ini."

Patrick terpana mendengar jawaban Lucas, seakan menemukan jawaban yang selama ini dia cari.

"Dari kecil aku lahir dan hidup di Belanda," Patrick berkata. "Tetapi karena Ayahku adalah orang Indonesia, aku meyakini ada kesungguhan pada diriku bahwa aku adalah orang Indonesia. Aku pernah dipanggil timnas U-17 Belanda tetapi aku menolak. Ini bukan masalah karier. Walaupun tawaran dari timnas senior Belanda datang, aku tetap akan menolaknya. Aku ingin suatu saat bermain sebagai punggawa timnas Indonesia, kendati aku tidak tahu terlalu banyak tentang negara asal ayahku itu. Menurutmu, apakah itu salah? Tidakkah aku dianggap pengkhianat?"

Lucas tersenyum. "Tidak ada yang salah. Sebagian hatimu telah berada di Indonesia. Kamu berhak bermain untuk mereka."

Ada perasaan lega terpancar dari wajah Patrick." terimakasih, Lucas. Berbicara denganmu membuatku sangat lega."

"Bukan masalah, kawan."

Obrolan pagi itu berakhir saat Beatrix pamit dan kami pun berencana melanjutkan jalan sehat pagi ini.

Benar kata Lucas. Saat memutuskan di mana hati kita ingin berlabuh, kita hanya harus bertanya apakah sebagian hati kita telah yakin benar-benar ingin berada di sana. Hanya diri sendiri yang bisa menjawab.

WonderkidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang