Seperti hari-hari lain, Adam melakukan lari pagi di sekitar rumahnya hingga ke Kras Stadion. Kadang-kadang, Patric juga ikut jogging bersamanya. Pagi itu dia berpapasan dengan Patric. Tetapi Patric tidak mengenakan pakaian olahraga. Sepertinya dia bukan hendak berolahraga.
"Hai, Pat. Kau ingin jogging?" tanya Adam menyapa Patric.
"Tidak, Adam. Aku mau ke rumah sakit," jawabnya.
"Rumah sakit? Siapa yang sakit?" Adam bertanya lagi.
Raut wajah Patric tidak yakin. "Kau belum tau?"
"Apa?"
"Seminggu yang lalu, Niek Casper, pemain reserve tim kita, mengalami cedera yang buruk."
Adam ingat, beberapa saat sebelum menghadapi Fortuna Sittard kemarin, Niek menemuinya di depan stadion. Niek dalam keadaan menahan tubuhnya menggunakan sepasang tongkat.
Adam bersuara kembali. "Apa yang terjadi di lapangan saat dia cedera?"
"Dia mendapat tackle keras. Buruk. Kakinya patah. Bahkan beberapa media mengatakan cedera itu merupakan yang terburuk dalam persepakbolaan Belanda."
Adam terkejut. Dia tidak menyangka Niek mengalami sesuatu yang mengerikan seperti itu. Kendati demikian, Niek masih sanggup menemuinya di stadion padahal kakinya masih dibalut perban.
"Aku ikut," ucap Adam.
Mereka berdua mendatangi kamar Niek Casper. Saat itu Niek sedang menonton TV. Dia tidak menduga kehadiran Adam dan Patric.
"Pat? Adam?"
"Hei, aku datang lagi. Ini kubawakan untukmu," ucap Patric sembari meletakkan buah-buahan di meja yang terletak di samping tempat tidur Niek.
"Terimakasih sudah repot-repot berkunjung ke mari."
"Niek, maafkan aku. Aku tidak tahu soal ini ketika kita bertemu di Kras Stadion kemarin," ucap Adam sedikit bersalah.
"It's okay. "
Cedera itu tampak tidak baik. Tulang kakinya benar-benar patah dan mustahil pulih dalam waktu kurang dari satu tahun. Tetapi walau begitu, Niek tidak menunjukkan sedikit pun kelemahan saat bertemu rekan setimnya.
Bagi Patric, cederanya Niek tentu membuatnya sedih. Niek adalah rekannya sejak berada di tim junior. Patric lebih beruntung karena sejak tahun lalu dipromosikan ke tim inti. Niek sebenarnya telah bermain beberapa kali di tim inti, tetapi cedera menghambat perkembangannya. Jam bermainnya di tim cadangan pun tidak banyak. Tetapi Niek selalu menunjukkan kualitas dan menjadi pilihan di tim cadangan ketika dia fit.
"Aku yakin kau akan baik-baik saja, Niek. Cepatlah pulih dan kita akan bermain di tim inti," tukas Patric menyemangati.
Niek tersenyum. "Terimakasih sudah memberiku semangat. Tetapi aku harus realistis. Setidaknya butuh dua tahun bagiku untuk pulih. Bahkan dokter mengatakan ketika kakiku sembuh, aku tidak bisa bermain bola seperti dulu lagi. Kakiku tidak akan sekuat sebelumnya."
"Kau harus yakin. Sepakbola bukanlah olahraga yang membolehkan kita menyerah," imbuh Adam.
"Aku tidak pernah menyerah. Aku selalu memberikan yang terbaik. Lagi pula, jika aku bermain lagi, sepertinya kita tidak akan bermain bersama lagi," jawab Niek.
"Kenapa?" Adam heran.
"Kontrakku akan habis akhir musim ini. Manajemen tidak berniat memperpanjang kontrakku dan itu sudah jelas karena aku tidak akan bermain bola selama dua tahun ke depan."
Mendadak ruangan itu menjadi hening. Adam dan Patric seakan bisa merasakan apa yang Niek rasakan saat ini. Berhenti bermain bola selama beberapa tahun di saat usiamu masih muda. Tidak bisa melanjutkan perkembangan kariermu. Itu adalah cobaan yang sangat menyakitkan.
"Tapi kalian tidak melihat semangat di mataku padam, kan? Aku tidak pernah berniat berhenti dari sepakbola," ucap Niek.
"Aku tahu orang seperti apa dirimu. Tentu kau tidak akan kehilangan semangat," seru Patric.
"Di mana pun aku berada, dan apa pun yang terjadi nanti, aku akan terus menendang bola. Aku hanya memikirkan sepakbola. Dan aku yakin aku hidup untuk menjadi pemain sepakbola." Niek memandang ke arah jendela. Melihat beberapa anak kecil yang sedang mengejar bola. "Suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi. Di suatu lapangan yang sama."
"Aku percaya waktu itu akan tiba. Kami akan menunggumu, Niek," sahut Adam sembari mengepalkan tangannya.
Adam dan Patric pamit dan meninggalkan ruangan itu.
Niek tertunduk. Air mata mulai mengalir di pipinya. Kedua tangannya terkepal, meremas selimut dan menghentak tempat tidur yang didudukinya.
Dirinya saat kecil sangat tergila-gila dengan sepakbola. Apa yang dia bicarakan dengan ayahnya hanyalah tentang sepakbola. Menimba ilmu di Volendam adalah kebanggaan baginya. Dan kini harapannya untuk bermain di tim utama telah hancur. Dan dia pun tak yakin apakah dia benar-benar bisa tidak menyerah terhadap sepakbola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderkids
FantasyMenceritakan perjalanan karir sepakbola pemain muda Indonesia yang terlahir dalam generasi emas Indonesia. Skuad U-20 Indonesia di tahun 2033 berhasil melaju ke quarterfinal U-20 World Cup, yang merupakan pencapaian tertinggi selama sejarah sepakbol...