BAB 1

9.4K 850 226
                                    

THANIA melangkahkan kakinya cepat menuju kelasnya. Wajah judes dan hawa-hawa mistis, masih terus melekat di tubuh cewek itu sejak ia resmi menjadi murid di SMAN 5. Orang-orang yang berpapasan dengan Thania pun menatapnya ngeri, seolah mereka baru saja melihat hantu gentayangan melewati koridor kelas XI pukul enam pagi.

Cewek itu memutar bola matanya malas. Terkadang risi sendiri dengan tatapan yang sering dilemparkan orang-orang kepadanya. Ia berusaha untuk tidak memedulikannya, walaupun sebenarnya ia ingin sekali melepas sepatunya kemudian mengacung-acungkan ke arah mereka. Tak lupa tampang sangar dikeluarkan seperti seseorang yang kerasukan Mak Lampir. Thania seratus persen yakin, mereka pasti akan lari terbirit-birit seperti dikejar anjing.

***

Kelas XI IPA 7, kosong melompong.

Jelas tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini, ini masih pukul enam pagi. Semua teman sekelasnya pasti masih mendengkur atau mungkin masih bercumbu dengan kasur dan kekasihnya yang lain di kamar masing-masing. Thania saja yang kerajinan, jika rumahnya dekat mungkin jam-jam segini ia masih memeluk guling kesayangannya dan menenggelamkan diri di balik selimut. Lagi pula, masih tersisa 25 menit menuju bel masuk atau Thania lebih senang menyebutnya senandung dari neraka.

Thania membuang napas kasar begitu matanya menangkap dua kipas angin di kelasnya dalam keadaan menyala. Satu hal yang Thania sebal dari penghuni kelas XI IPA 7. Pelupa soal menghemat energi listrik. Didekatinya sakelar kipas angin, mematikannya telak.

Dengan malas, Thania berjalan gontai mendekati bangku kebangsaannya. Bangku nomor dua, tengah. Oh, bukan di belakang pojokan. Thania bersumpah tidak akan pernah duduk di belakang pojokan. Terakhir kali dia duduk di sana, ada tai kucing tepat di bawah bangkunya. Baunya mengalahkan aroma parfum Clive Christian's Imperial Majesty. Toh, ia juga tidak akan bisa membaca tulisan di whiteboard dari sana. Cahaya matahari yang masuk melalui celah ventilasi atau jendela kelasnya, akan terpantul oleh permukaan whiteboard dan akhirnya Thania mendadak buta di pojokan.

Kata Pak Parwadoyo, guru Fisika Thania, desain bangunan sekolahnya kurang tepat. Beliau selalu protes di hadapan murid-muridnya kalau arsiteknya salah mendesain rancangan bangunan. Pak Parwadoyo selalu membandingkan bangunan sekolah pada zaman Belanda dengan bangunan zaman sekarang. Yah, Thania sih, enggak peduli.

Thania bosan dan kelas masih saja sepi. Ia memainkan smartphone-nya, membuka aplikasi LINE, dan membaca celotehan anak-anak kelasnya di grup. Hitung-hitung, membayar rasa bosannya setelah menunggu update cerita laga kesukaannya di Wattpad.

Nadine Millea: Mager ke sekolah, Ya Allah :(.

Natasha: Nunggu antrian mandi di kosan. Lama banget.

Anastasya: JANGAN LUPA BAYAR JAKET KELAS!

Anastasya: JANGAN LUPA BAYAR KAS ANGKATAN!

Anastasya: JANGAN LUPA BESOK KAMIS ULHAR TRIGONO!

Farrel: Apa itu trigono? Emang kita diajarin trigono?

Isna: Materi trigono aja masih ngambang, udah ulangan aja :(

Shania: Haiya :(

Nindi: Ibunya itu kalau ngerjain satu soal bisa dua jam pelajaran, terus nasib kita pas ulangan emang bisa ngerjain berapa soal :".

Nurhan: Halah gampang.

Anastasya: Sombong.

Nurhan: Ganteng bebas.

Cerelac: Sekolah woy. Sekolah.

***

Thania tersenyum kecil. Terkadang teman-temannya bisa mendadak sakit jiwa, tetapi kadang mereka juga bisa kesambet malaikat terus jadi alim dalam sekejap. Tanpa Thania sadari, seseorang berjalan santai melewati kelasnya. Tanpa Thania sadari, cowok itu melirik ke arah kelasnya sekilas, guna memastikan Thania sudah datang atau belum.

Cowok itu tersenyum kecil ketika sosok yang dicarinya sudah datang. Segera langkah kakinya menuntun masuk ke dalam kelasnya. Mata cokelat gelapnya yang lunak kini berpindah ke arah rolling door tua berwarna hijau. Benda itu menghalanginya. Menghalanginya memandang seseorang yang selalu ingin ia pandang setiap saat. Namun, dirinya teringat satu hal.

Jika rolling door itu terbuka, maka itu sama saja bencana.

Kelas Thania bisa terganggu karena kegaduhan yang dibuat anak kelas si cowok dan begitu pula sebaliknya, kemudian berujung pada guru-guru yang mengajar di kelas mereka saling beradu mata sadis. Cowok itu bergidik begitu membayangkan jika hal itu sampai terjadi.

Deskripsi suasana kalau sampai itu terjadi: perang dunia ketiga.

Kelasnya XI IPS 3, pagi ini belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Namun ketika nyanyian neraka dibunyikan, barulah para penunggu kelas XI IPS 3 berbondong-bondong masuk ke kelas dan menunjukkan aktivitas pasarnya. Itu berarti, ia harus bertapa di kelasnya sampai pukul setengah tujuh kurang lima menit.

Evan mengembus napas lelah, memainkan smartphone-nya bosan. Menunggu sampai semua anak buahnya datang ke kelas walaupun ia sudah lumutan.

***

A/N

Hai, Evan. Selamat datang di dunia yang telah aku ciptakan.

Hai, Evan. Besok kita bertemu.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang