BAB 56

2.8K 156 10
                                    

INVISIBLE - CHRISTINA GRIMMIE

SAM TSUI AND TIFFANY A.

***

KUBURAN ramai dikunjungi kerabat, sanak saudara, dan teman-teman Thania baik itu dari SD, SMP, maupun SMA. Pakaian hitam membaluti hampir semua pelayat. Aroma bunga mawar dan melati memenuhi rongga hidung. Foto terakhir Thania, sang adik yang membawa. Dalam foto itu, Thania tampak anggun dengan kebaya putih dan rambut digulung.

Ponsel Evan berdering. Seseorang menelpon entah siapa. Ia tak ingin membacakan nama si penelpon. Dengan setengah berat hati, Evan menjawab, "Halo, ini Evan. Tolong hubungi aku lagi nanti. Aku sedang tidak ada di rumah."

"Evan, ini Krishna." Ternyata Krishna yang menelpon dan Evan tak menyangka hal itu bisa terjadi. "Ada yang perlu aku bicarakan denganmu."

"Krish, aku sedang tidak di rumah sekarang. Kita bicara lagi nanti." Evan merasa letih untuk menjawab ataupun berbicara dengan orang lain dalam kondisi berduka seperti ini.

"Tidak, aku ingin bicara sekarang. Ada seseorang yang ingin berbicara padamu dan aku harus melakukannya karena ini amanah. Aku tak mungkin mengabaikan sebuah amanah," desak Krishna seolah apa yang dikatakannya harus diselesaikan hari ini juga.

"Krish, tolong mengerti kondisiku sekarang," Evan mendesah agaknya bingung dengan teman yang satu ini.

"Evan?" suara perempuan merebak lembut di indra pendengarannya. "Ini aku, Indah. Aku yang menyuruh Krishna untuk menelponmu. Aku ingin berbicara padamu."

Evan tak menjawab. Jeda panjang melingkupi jarak di antara mereka. Ia tidak begitu mengenal Indah dan tidak ada urusan atau masalah di antara mereka, tetapi kenapa Indah ingin berbicara padanya sekarang? Ada apa sebenarnya?

"Evan, aku tahu Thania sudah tidak ada dan kau sangat berduka atas itu." Indah memulai pembicaraan.

Evan memejamkan mata telak. Ia muak. Ia lelah. Ia ingin segera mengakhiri hidupnya sekarang. Kenapa Indah tega menyinggung kematian Thania di saat Evan hampir saja melupakannya? Evan benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran perempuan. Kenapa Indah datang di saat seperti ini?

"Aku tahu pasti sekarang kau sedang kesal karena aku menyinggung hal ini," —sekarang Evan terbelalak karena gadis itu berlagak seperti seorang cenayang— "tapi, ada satu hal yang harus kamu ketahui, Van dan aku ingin meminta bantuanmu. Karena, aku tak bisa melakukan ini sendiri."

"Katakan sebelum aku berubah pikiran," Evan akhirnya menjawab ketus.

"Tolong sampaikan ucapan belasungkawaku, Harry, dan Sulcha pada keluarganya Thania. Kami teman satu SMP-nya dan tolong sampaikan permintaan maaf kami karena tidak bisa menghadiri pemakaman sahabat kami."

Mata Evan menyalang. Apakah ia tidak salah dengar? Jadi, selama ini ... Evan benar-benar tidak menyangka kalau dunia sesempit itu. Air matanya kembali menetes. Netranya memerah dan bengkak, menghabiskan waktu hanya untuk menangisi orang yang sudah tiada.

Evan tahu ia salah telah berburuk sangka pada Indah dan jika Thania masih ada di sini—di sebelahnya—mungkin Evan sudah jadi dendeng. "Iya, akan aku sampaikan."

"Terima kasih."

Terputus.

Angin bersemilir lembut meraba kulit Evan, setengah menggelitik. Beberapa kelopak mawar tak sengaja diterbangkan angin dan mendarat tepat di sepatu Evan. Seseorang menepuk bahunya, tersentak. Bu Depe. Wanita itu tersenyum tipis. "Ternyata Ibu enggak salah orang."

"Bu Depe?" Evan langsung menyalimi guru tarinya, mencium punggung tangannya.

"Kamu juga ikut ke sini? Pantesan Ibu enggak lihat kamu di sekolah." Bu Depe tetap tak melunturkan senyumannya. "Pak Beni, Tegar, Indika, anak kelas XB dan IPA 7, Pak Jun, sama Bu Mar ada di belakang. Bentar lagi mereka ke sini."

Evan memaksakan diri menyimpulkan senyuman palsu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Mungkin hanya dengan senyuman yang mampu menyalurkan setiap kata yang berkecamuk dalam pikirannya.

***

"Van, kamu saja yang mewakili kami," bisik Tegar lirih.

Evan mengernyitkan dahi agaknya tidak mengerti. "Kenapa harus aku?"

"Karena, kamu ada di saat-saat terakhirnya Thania, Van. Kamu lebih pantas buat menyampaikan ucapan belasungkawa kita," tambah Nindi menjelaskan maksud sang ketua OSIS.

Evan terdiam alih-alih memikirkan tawaran teman-temannya. Lelaki itu tak menjawab, hanya menarik langkah mendekati kedua orang tua Thania yang masih sangat terpukul akan kepergian putri pertamanya itu. Ibu Thania tak henti-hentinya menangis, memegang nisan di dekatnya.

"Permisi, Tante. Kedatangan saya kemari bukan untuk menambah kesedihan Tante. Saya kemari sebagai perwakilan SMA Negeri 5 ingin mengungkapkan rasa belasungkawa kami atas kepergian putri Om dan Tante, kepergian kawan kami, kepergian sahabat kami, dan kepergian salah satu bagian keluarga kami yang paling berharga,

"Om, Tante, bagi kami Thania itu spesial. Bagi kami, Thania itu memukau. Jujur, kami juga terpukul atas kepergian Thania yang mendadak ini. Semoga Thania tenang di sana dan diberi tempat yang layak di sisi-Nya," ungkap Evan dengan berat hati.

Ayah Thania mengangguk cepat. "Ya, iya, Nak. Terima kasih sudah mau menemani Thania selama hidupnya. Terima kasih sudah memberikan kenangan-kenangan paling indah untuk Thania. Terima kasih, Nak. Terima kasih. Kalau Thania ada salah, baik disengaja maupun tidak disengaja. Mohon dimaafkan ya, Nak."

Evan mengangguk, tersenyum pahit. "Oh, ya. Teman SMP Thania yang di Amerika sekaligus teman saya menitipkan belasungkawa pada saya karena memang kami sering komunikasi dan saya juga tidak menyangka kalau dunia sesempit ini. Mereka meminta maaf tidak bisa datang ke sini."

"Van," seseorang memanggil Evan spontan lelaki itu menoleh. Andien, gadis itu melangkah perlahan mendekati Evan dan kedua orang tua Thania dengan wajah bengkak dan mata memerah. Tiba-tiba saja, Andien terjatuh tepat di dekat kuburan Thania, menangis di sana. "Thania! Kenapa kamu jahat ninggalin aku?! Kenapa kamu ninggalin aku sekarang?! Maafin aku, Thania! Maafin aku! Thania aku berdosa banget sama kamu! Kenapa kamu ninggalin aku di saat aku belum mengucapkan 'maaf'?! Thania!"

Evan mengangkat Andien yang masih histeris. Evan tahu, gadis itu sangat terpukul. Mungkin orang yang paling terpukul setelah kedua orang tua Thania. "Andien, sudah. Andien."

"Evan, bilang kalo yang ada di kuburan ini bukan Thania! Evan, bilang kalo Thania masih hidup! Evan, aku masih punya banyak dosa sama Thania! Aku udah ngatain dia yang enggak-enggak! Thania, kamu cantik! Kamu pinter! Kamu bukan lesbi! Than, kamu bukan lesbi! Kamu cewek normal, Than! Maafin aku, Than!" Andien semakin histeris dan itu membuat Nindi beserta Indika membopongnya, menjauh dari kuburan Thania.

Evan menatap Andien dari kejauhan kemudian menggantinya ke kuburan Thania. Sekali lagi air mata lelaki itu menetes. Buru-buru Evan menghapusnya, berusaha untuk tetap tegar.

Than, aku tahu kamu ingin mengucapkan "halo" padaku dan sekarang giliran aku yang membalas sapaanmu itu. Selamat jalan, Thania. Aku akan selalu merindukanmu.

***

A/N

Sampai berjumpa di bagian Epilogue dan nantikan kejutannya di sana.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang