RAPAT. Thania benci rapat. Karena rapat, Thania tidak bisa pulang lebih awal. Karena rapat pula, Thania bertemu dengan orang-orang masa lalunya. Menjijikkan, mungkin satu kata yang terbesit dalam benak Thania.
Rolling door, bersama seksie dekorasi dan dokumentasi yang lain Thania duduk di dekat benda itu. Bosan memang, karena mereka sudah selesai membahas masalah poster dan tugas mereka saat hari H.
"Iz, Iz, numpang lewat bentar ya! Mau ngambil sesuatu," seseorang berteriak dengan nada sumbang. Sialnya, Thania menoleh.
Seketika rasa kantuk Thania buyar ketika melihat siapa yang datang dan siapa yang berteriak. Evan. Yah, lelaki itu berlari dari kelas Thania yang memang digunakan untuk rapat juga dan Evan yang mengawasi jalannya rapat akbar di sana.
Setidaknya, Thania bisa menghela napas lega. Setidaknya, Evan tidak mengawasi rapat akbarnya. Setidaknya, Thania bisa menghirup udara segar tanpa ada sepasang mata yang memandang.
Evan mengubrak-abrik isi tas berwarna abu-abu tua di kursi paling pojok dekat jendela. Thania segera membuang muka, memainkan kukunya untuk mencari kesibukan sendiri daripada menatap Evan dengan tatapan berbisa.
"Makasih, Iz! Sayang, deh sama Faiz!" Evan berlari dan kembali masuk ke kelas Thania.
Thania menghela napas lega. Bocah satu itu sudah tidak lagi ada di ruangan ini. Meskipun begitu, itu hal yang wajar sih. Toh, ini juga kelasnya. Jadi, wajar aja kalau dia bolak-balik mengambil barang yang ada di tasnya.
Thania segera mengedarkan pandangan. Hampir semua seksie sibuk dengan urusan masing-masing. Yah, rasa bosan ini benar-benar membunuh Thania telak. Ia ingin meminjam alat mempercepat waktu milik Doraemon, kalau Doraemon bukan tokoh fiksi.
Deritan pintu rolling door ingin dibuka merebak. Ada celah yang muat dilewati satu orang yang memiliki kriteria berikut: ramping, kecil, dan badannya persis tikus.
Seseorang menjulurkan kepalanya dari sana dan itu yang membuat Thania jantungan. Sialan, kenapa pula seksie dekdok milih tempat di deket rolling door. Anjir, gerutu Thania dalam hati.
"Faiz, ambilin matras di situ, dong. Ngantuk aku nunggu rapat, pengen rebahan. Ya, Iz ya?" Evan membujuk Faiz, sang ketua panitia dan sialnya pula Faiz menuruti. "Matrasnya ada di depan."
Lelaki itu segera mencari benda yang dimaksud Evan. Mata minusnya meneliti dan tangannya segera menjumput matras di sana. Dengan gampangnya, Faiz menenteng matras tadi.
"Dah, Iz. Taruh sini aja. Makasih ya," ucap Evan terdengar ramah seperti biasa.
Faiz menaruh benda itu di dekat rolling door, lebih tepatnya di dekat kaki Evan. Thania mengamati malas matras itu dan memerhatikan kaki Evan bergerak-gerak mengambil benda empuk itu.
Kenapa enggak digeser rolling door-nya terus ambil pake tangan. Ribet amat bocah satu ini, Thania mengomentari dalam hati.
Insting Thania berbisik, sontak membuat Thania langsung terperanjat menegakkan tubuhnya yang jangkung. Gadis itu merasakan sebuah hawa yang hanya bisa dirasakan beberapa orang sepertinya. Peka terhadap rangsang.
Thania menengadah dan jantungnya kembali berdentam liar persis tempo lagu EDM di diskotik-diskotik. Evan menatapnya lurus dan lekat. Bibir tipisnya digigit dengan kaki yang masih ingin mencoba mengambil matras itu.
Gadis itu membuang muka, melihat matras yang masih saja tergeletak di dekatnya. Menyedihkan, ini namanya pembantaian! Apa maksudnya?
Ditatapnya Evan lagi dan berharap dia mempunyai sebuah inisiatif untuk mengambil matras itu dengan tangan. Akan tetapi, tidak. Seratus persen tidak!
Dia masih memandang Thania, menatapnya lekat seolah tak ingin melepaskan Thania begitu saja. Begitu terus sampai lima belas menit kemudian, Evan berhasil menarik matras tadi dengan kakinya dan menutup rolling door itu rapat.
Normalkanlah detak jantungmu, Than. Dia cuma mengambil matras, bukan mau ngelihatin kamu. Dia tadi cuma mau minta tolong, tapi kamunya yang enggak peka. Ya, aku emang enggak peka pake begituan. Jadi, tolong jangan buat aku salah paham lagi, Thania berharap sekaligus membatin dan berdoa agar ia salah persepsi.
***
A/N
Aku ingat masa itu. Masa di mana kamu, Evan, mengambil matras dengan kaki dan celahnya sekecil itu. Mustahil kalau mau pakai kaki. Akan tetapi, kenapa kamu bersikukuh mengambilnya dengan kaki? Padahal kamu tahu sendiri sangat kecil kemungkinannya untuk mengambil matras yang sebesar apa dengan kakimu.
Walaupun itu berakhir berhasil, kau tetap menggunakan kakimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...