THANIA mematung di tempat, seolah ada yang menghentikan waktu. Bu Depe menutup mulut alih-alih teringat sesuatu. Tentu saja, ucapannya. Terkadang Bu Depe lupa untuk menginjak rem dalam-dalam. Wanita berkulit cerah itu cekikikan tanpa dosa.
"Aduh, keceplosan," celetuknya ringan, "Than, entar kalo ketemu Evan, suruh balik ke lapangan upacara ya? Ibu enggak mau nilainya turun gara-gara keseringan kabur."
Gadis itu hanya mengangguk. Tidak ada ucapan atau suara yang terlontar dari mulutnya. Hanya keheningan yang melingkupi, mengunci mulut Thania lalu membuang kuncinya.
"Tolong ya, Thania!" Bu Riri ikut menyahut. Akan tetapi, Thania diam saja. Ia tidak berbicara maupun mendengar apa pun setelah permintaan Bu Depe.
Evan menyukainya. Evan menyukainya. Evan menyukainya.
Kalimat itu terus menghantui pikiran Thania. Ternyata selama ini, apa yang ia pikirkan dan apa yang ia duga adalah sebuah kebenaran. Evan menyukainya.
Bu Depe dan Bu Riri sudah menghilang di balik persimpangan dan Thania masih bergeming di sana seperti orang yang tengah melamunkan sesuatu. Thania tidak merasakan apa pun, kecuali desiran angin yang berembus dari arah belakangnya, mengibaskan jilbabnya.
"Than?" Suara itu. Suara yang selalu Thania ledek suara bebek dalam hati. Suara yang tak pernah ia lupakan. Suara yang terus merasuki otaknya. Suara yang ingin ia enyahkan. "Thania?"
Thania memejamkan mata, berharap suara itu enyah dari pendengarannya. Akan tetapi, suara itu terus muncul. Semakin lama, semakin dekat. Semakin lama, semakin jelas. Ditutupnya mata ini kuat. Mungkin hanya dengan begini, suara itu akan hilang dalam sekejap.
Seseorang menyentuh bahunya. Spontan, Thania menampis tangan orang itu kasar. Evan terkejut. Tak pernah ia melihat Thania sekasar itu. Ada apa? Ada apa dengan Thania?
"Than, kamu kenapa?" tanya Evan polos.
Tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah lirikan tajam. Evan benar-benar cemas sekarang. Kenapa Thania seperti ini padanya? Ada apa dengan Thania? Siapa yang membuatnya begini?
"Kamu bertanya aku kenapa?" Thania mengulangi pertanyaan Evan. Nadanya meninggi nyaris seperti orang memekik.
Kenapa ini? Evan bingung sekarang.
"Than, kamu kenapa, toh? Kamu kenapa?" tanya Evan kebingungan.
"Kamu suka aku. Iya, kan?" Thania bertanya telak.
Hati Evan bergetar mendengar pertanyaan Thania. Bagaimana ia bisa tahu kalau selama ini Evan menyukainya? Kenapa nada bicara Thania terkesan kalau ia sangat tidak menyukai kenyataan itu? Kenyataan bahwa Evan menyukai Thania. Evan hanya bergeming, menunduk, dan tak berkutik.
Thania memandang intens Evan. Lelaki itu tidak berbicara bahkan menatap Thania pun tidak. Naik pitam, Thania bertanya lagi, kali ini suaranya lebih tinggi beberapa oktaf dari sebelumnya. "Kenapa kamu diam saja, Van? Kamu suka aku? Iya atau enggak? Jawab, Van!"
Lagi-lagi, Evan tak menjawab. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Lantai berubin masjid terus ia pandangi, menusuk. Seolah-olah lantai itu tengah mengejeknya saat ini. Akan tetapi, Evan diam saja. Tak membalas ejekan dari si lantai. Evan diam saja. Tak menanggapi Thania.
Aku enggak bisa jawab, Than. Enggak bisa jawab.
"Kamu punya telinga untuk mendengar. Kamu punya mulut untuk berbicara. Namun, kenapa kamu diam saja dan tak kaupergunakan telinga dan mulutmu untuk menjawab satu pertanyaanku?" Thania mulai geram. "Aku butuh jawaban, bukan diammu, Evan Dio Pratama."
Deg!
Tangan Evan mengepal. Dirasakannya kuku-kuku itu menancap kulit. Raut Evan yang biasanya santai kini menegang. Emosinya nyaris memuncak, sama halnya dengan gadis yang tengah bertanya padanya. Keringat dingin mengalir dari pelipis hingga jatuh ke lantai. Haruskah Evan mengatakannya?
"Evan Dio Pratama!" Kesabaran Thania akhirnya habis, membentak Evan yang sedari tadi diam saja.
"Iya, aku suka kamu!" Evan balas memekik, penuh emosi.
Terhenti dan terbelalak. Evan mengucapkan satu kalimat. Satu kalimat yang sukses menancap di hati Thania telak. Satu kalimat yang sukses membuat netra gadis itu berkaca-kaca. Debar jantung Thania bertambah, lebih cepat. Begitu pula Evan.
Lelaki itu mengatur napasnya, menormalkan degup jantungnya yang tak keruan. "Aku suka kamu dari kelas sepuluh. Saat aku menemukanmu dan kamu menemukan aku."
Tersenyum getir. Thania mematri senyuman itu pada wajahnya. Netranya berkaca-kaca, terlihat mengkilap ketika sinar matahari menerpa wajahnya. Kristal itu mengalir perlahan, jatuh ke pipi. "Sayangnya, aku benci kamu, Van. Benci banget sama kamu. Dari dulu sampai sekarang."
***
A/N
Suatu ketika aku pernah bermimpi, tentangmu. Dalam mimpi itu aku bertanya seperti Thania dan kau membalasnya. Seperti jawaban yang dikatakan Evan.
Lalu kemudian, aku terbangun setelah kau mengatakan soal perasaanmu saat itu.
Aku terkejut dan tak ingin menemuimu saat itu. Setiap kali kita bertemu walaupun itu berpapasan, aku teringat akan mimpi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...