BAB 35

909 132 123
                                    

TEH itu masih belum tersentuh. Dalam keheningan yang mencanggungkan, Thania menatap tehnya. Tidak ada yang dilakukan gadis itu selain duduk sambil menatap teh. Di ujung sana, Evan memainkan ponselnya.

Beberapa detik kemudian, upacara telah selesai. Seluruh murid menghambur ke kelas masing-masing. Evan mengintip dari pintu kaca buram UKS. Entah kenapa Evan malas pergi ke kelasnya. Ingin rasanya ia kabur dari pelajaran tari Bu Depe, tetapi nanti dia jadi masuk DPO alias Daftar Pencarian Orang.

Derit pintu merebak, sekelompok laki-laki menghambur masuk dengan lancangnya. Sontak Evan bangkit dan menatap satu per satu mereka yang datang. Pandangan Evan terhenti pada satu laki-laki. Satu laki-laki yang tadi mengancam Evan.

Adit. Lelaki itu langsung memutuskan kontak mata dan segera angkat kaki dari hadapan Evan. Evan mengikuti ke mana arah Adit pergi. Jantung Evan berdebar liar. Mendadak hati Evan hancur berkeping-keping. Thania didekati Adit dan Evan tidak suka.

"Than, udah sehat? Udah enakan, kan?" Adit bertanya sedikit canggung. Tak heran kalau ia menggerak-gerakkan kedua tangannya agak gemetaran.

Thania hanya membuang muka, melipat kedua tangannya di depan dada. Evan berani bersumpah, Evan melihat raut benci di wajah Thania. Evan berani bersumpah, Thania benar-benar tidak nyaman bila Adit ada di hadapannya saat ini.

"Than? Kok diem?" Adit kembali bertanya.

"Emang semua urusanku itu urusanmu juga? Enggak usah kepo kalo mau jadi orang. Emang kamu siapa, sih? Kita enggak ada hubungan. Jadi, enggak usah ngurusin aku. Belum puas kamu setahun udah gangguin aku?!" Thania sungguh mengamuk. Kontan satu UKS senyap.

Mantap, Than. Hajar! Evan girang dalam hati.

"Aku cuma khawatir sama kamu. Dari kelas X kamu sakit-sakit terus. Ternyata sekarang juga masih sama," jelas Adit sedikit takut.

"Khawatir? Itu bukan khawatir, tapi nyari perhatian! Bagiku, citramu udah buruk! Kamu enggak ada kerjaan lain apa selain nguntitin aku?!" Raut wajah Thania mengeras. Matanya melotot penuh kemarahan, sukses membuat satu UKS bergidik. "Ke mana pun aku pergi, kamu ngikutin aku! Kehidupanku kamu acak-acak! Kamu nanyain privasiku! Kamu kelewatan tahu, enggak!

"Aku nyesel ngeladenin kamu waktu awal masuk SMA! Jelas aja kamu ditolak tiga kali. Kelakuanmu aja gini! Perlu aku bongkar?! Iya?! Perlu aku bongkar semuanya?!" Thania benar-benar mempermalukan Adit sekarang.

"Than, udah, Than," ucap Khansa berusaha menengahi.

"Jangan berantem di UKS, eh," Adam, sang ketua angkatan turut turun tangan seraya menghabiskan tetes terakhir tehnya yang hangat.

Evan bergeming. Bulu kuduknya berdiri telak. Ia tak pernah melihat Thania semarah dan sebenci itu sebelumnya. Yang Evan tahu, Thania hanyalah siswi yang acuh tak acuh.

"Oke. Aku bongkar sekarang." Thania menatap Adit intens, sementara yang ditatap akhirnya mendelik. "Kamu nge-chat hampir semua cewek di angkatan kita. Aku enggak tahu aku orang yang keberapa yang kamu chat. Kamu nge-chat kami juga cuma mau nyari mana cewek yang cocok jadi pacar kamu, kan? Kamu pikir, kami sebodoh itu?

"Enggak! Awalnya, aku kira kamu cuma mau temenan biasa, tapi aku ngerasa aneh waktu kamu nanyain soal kapan aku mau pacaran sama ta'aruf. Dari situ aku mulai sadar, kamu cuma mau nyari 'korban'. Aku bukan cewek bodoh yang bisa kamu pacari dan kamu enggak bisa maksa cewek buat suka sama kamu. Mau kapan aku ta'aruf atau pacaran atau nikah, itu urusanku, bukan urusanmu,

"Pas aku lagi sibuk dan enggak bales chat-mu atau aku emang males balesin chat enggak guna dari kamu. Eh, emang aku males. Kenapa kamu maksa-maksa aku buat balesin chat-mu? Semua orang punya hak. Kamu kalo kayak gitu sama aja ngatur hidupku. Emangnya kamu siapa? Saudara bukan, pacar bukan, tunangan bukan, apa lagi suami!

"Sekarang, kamu angkat kaki dari pandanganku. Cepet! Pintu keluar ada di sebelah sana. Aku enggak perlu nganterin kamu. Karena, kamu punya kaki buat jalan sendiri." Thania menunjuk pintu UKS tanpa memandang Adit sedikit pun.

Adit jengah di depan umum. Semua pandangan tertuju padanya. Tak ada yang berani berbicara, termasuk ketua angkatan dan ketua OSIS yang juga berada di sana. Adit menghela napas hendak mendekati Thania. "Than."

Namun, nasib Adit memang sedang sial. Gelas yang terisi teh dari Evan langsung disiram ke arah Adit oleh Thania. Satu UKS sukses berjingkat dibuat Thania, termasuk Evan. Evan benar-benar merinding dan melihat sendiri kemurkaan Thania.

Than, itu buat minum kamu. Bukan buat nyiramin Bunga Bangkai. Ah, tahu gitu mending tehnya buat aku, Than. Enggak sudi dibuat nyiramin Bunga Bangkai.

"Than, udah, Than. Jangan marah gitu, Than. Berantem di sini enggak bagus, Than. Ini buat orang sakit dan sebelah ruang BK. Than, aku enggak pengen ada masalah di sini. Kamu tenang dulu, oke?" Teguh melangkah perlahan, mendekati Thania yang kini naik darah.

Thania menatap Teguh tajam hingga napas Teguh terhenti sesaat. "Kalau kamu pengen sekolah ini tenang," Thania kemudian menuding Adit. "Jangan pernah tunjukkan wajah orang ini padaku."

"Oke, Than. Oke. Aku janji. Adit enggak bakal muncul lagi di depanmu. Kalau muncul, aku bilangin." Teguh mencoba untuk menetralkan suasana yang gerah ini.

Jangan bilangin, Guh. Tendang aja. Tendang, batin Evan alih-alih ikut membenci Adit.

"Jangan bilangin, tendang aja sekalian," begitu ucap Thania sebelum ia bertolak menuju kelasnya.

Hening dalam sekejap. Tak ada yang berani bersuara. Khansa dan Billa ke luar mencari lap basah. Faritsi menemani Adit untuk mencari pakaian ganti. Semua orang berlalu, ke luar menuju kelas masing-masing. Tersisa Evan di UKS, merenungi kejadian tadi.

Aku melihatmu marah untuk pertama kalinya dengan mata kepalaku sendiri. Aku takut, Thania. Aku sangat takut. Jangan marah lagi, ya? Aku benar-benar takut.

***

A/N

Mungkin kamu pernah melihatku marah, Evan. Akan tetapi, semoga saja kamu tidak pernah melihat kesuraman itu. Kesuraman yang sukses menciptakan badai di kelasku dulu. Kesuraman yang membuatku disegani seluruh anak kelasku.

Kesuraman yang membuat mereka takut terhadapku.

Terkadang, kita perlu meluapkan emosi agar sesak dalam dada bisa berkurang. Kini, aku akan menuntunmu menuju suatu masa di mana kau tidak pernah mengetahuinya. Masa di mana tercipta senyuman ini. Senyuman yang menyembunyikan luka di dalamnya.

See you really soon at Youtopia, Evan! Kau akan ada di sana, hanya untuk meramaikan saja. Bukan untuk menjadi lakon utama.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang