"BALIKIN tas kamu katamu?" Bu Cip sedikit meninggikan suaranya sehingga satu ruang guru bisa mendengarnya. "Kamu aja ngajak main-main sama saya mau minta dibalikin tasnya. Saya enggak mau ngasih tasnya. Titik."
Evan mengerucutkan bibir sedikit. "Yah, Bu. Entar saya gimana? Buku saya semuanya di situ. Nanti ada pelajarannya Pak Pri, Bu. Pak Pri ngasih PR kemarin. PR-nya ada di tas. Tuh, gurunya ada di sana. Ya, Bu ya?"
"Tawaran ditolak," tegas Bu Cip tak ingin diajak kompromi.
Evan menggaruk kepalanya tidak gatal, setengah frustrasi menghadapi guru yang satu ini. Pikirannya berkecamuk alih-alih mencari alasan yang bisa melunakkan hati baja guru yang menurut Evan bakal jinak kalau ada sesuatu yang wah.
"Evan, kamu ngapain tadi langsung lari dari kelas?" Nah, sekarang Bu Mar muncul dan ikut menyerang Evan. Kali ini Evan bakal terpojok. "Bu Cip, sebenernya ada masalah apa? Evan buat masalah lagi?"
"Ini, Bu," Bu Cip mulai mengadu seperti anak kecil, "Evan enggak ada selama pelajaran saya. Enggak tahu nih anak kabur ke mana. Saya sudah jengkel karena dia sering enggak ada di kelas belakangan hari ini. Saya bawa tasnya terus saya sembunyikan. Biar aja dia enggak bawa tas. Menyepelekan pelajaran saya dia."
Evan terguncang dan terpojok di saat yang sama, menunduk seraya melempar senyum kecut ke Bu Mar yang kini sudah tahu masalah sebenarnya.
Bu Mar mengelus dada, mengucapkan istighfar sebanyak tiga kali, dan menggeleng kalut. "Evan, sebenernya kamu ini kenapa sering pergi pas pelajaran dan kabur ke mana? Banyak guru di sini yang ngeluh soal kamu."
Evan hanya menunduk, tak menjawab. Seolah-olah ia bisu seketika. Ia tak yakin akan menjawab pertanyaan Bu Mar.
"Evan." Bu Mar membuang napas agak panjang.
"Saya cuma mau jalan-jalan saja. Jenuh dengan suasana kelas yang tidak bersahabat. Manusia perlu bernapas untuk mendapatkan udara segar demi kelangsungan hidupnya dan saya sedang melakukan hal itu. Kelas saya tidak menjamin saya untuk mendapatkan udara segar. Jadi, saya keluar saja," celetuk Evan setengah bohong.
"Jadi, seperti ini anggota OSIS sekolah kita? Yang berani sama guru? Saya bingung, kenapa dia bisa jadi calon ketua OSIS kemarin." Bu Cip mulai naik pitam.
"Saya bukan berani dengan guru, Bu Cip. Bu Mar tadi bertanya kenapa saya pergi dari kelas saat pelajaran Anda dan itu jawaban saya." Evan memandang datar Bu Cip yang sudah memelototinya geram.
"Tutup mulutmu, Evan Dio Pratama!" bentak Bu Cip emosi, suaranya menggema. Bahkan beliau nyaris menampar anak itu, tetapi ia tahan dan memilih untuk mengatur napas yang tak keruan.
Evan terdiam, merinding. Ia tak berniat untuk mencari masalah dengan guru. Akan tetapi, kenapa akhirnya seperti ini? Kalau Bu Cip sudah semarah itu, ia tidak bisa selamat setelah ini.
Bu Mar terlihat menenangkan Bu Cip, menyuruh Evan untuk mundur selangkah demi selangkah. Evan tidak mengerti. Sungguh ia tidak mengerti. Apa yang akan terjadi setelah ini?
***
Jam berdetak, menemani kebosanan dan keheningan. Evan memilin jemarinya jenuh. Telinganya seolah disumpali earphone yang selalu setia menggantung di sana. Repetan Bu Atmi seolah tak pernah masuk ke otaknya.
"Evan? Hei, kamu dengar apa yang saya omongin enggak?" tanya Bu Atmi memecahkan lamunan Evan.
"Iya, Bu," celetuk Evan asal-asalan.
"Kamu kenapa kok bisa sampe kabur dari kelas sama bikin Bu Cip naik darah?" akhirnya Bu Atmi mengeluarkan pertanyaan yang tak ingin didengar Evan.
Evan menggeleng, tersenyum pahit. "Enggak, Bu. Lagi bosen sama suasana kelas aja. Kalau masalah Bu Cip, saya enggak tahu. Mungkin Bu Cip lelah."
"Evan, saya tahu kamu menyembunyikan sesuatu. Kalau kamu mau cerita, cerita saja. InsyaAllah saya bakal ngasih kamu solusi. Rahasia kamu aman sama saya," demikian perkataan Bu Atmi.
Evan bingung. Sebenarnya, ia ingin sekali mengatakan semua yang mengganjal hatinya. Sebenarnya, Evan ingin sekali mengungkapkan alasan sesungguhnya. Akan tetapi, Evan terlalu ragu untuk mengatakannya.
Ia mengambil napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. "Ibu yakin mau dengar apa yang mengganggu pikiran saya belakangan hari ini?"
"Lah? Kenapa harus ragu? Kalau mau ngomong, ngomong aja. Saya bakal dengarkan apa yang menjadi keluh kesahmu."
Evan terdiam sebentar. "Bu, kenapa banyak yang benci sama saya? Salah saya sebenarnya apa?"
***
A/N
Aku bingung kenapa semua acara TV isinya acara yang enggak mutu semua? Teruntuk Evan, apa yang sedang kamu lakukan di sana? Semoga liburanmu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Fiksi RemajaKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...