BAB 30

1K 132 41
                                    

SATU jam. Sudah sejam mereka berkeliling. Waktu kunjungan sudah hampir habis, tetapi Nata, Nindi, dan Thania masih bersantai di salah satu restoran di Museum Angkut. Dekat dengan lokasi Pasar Apung. Menikmati kesegaran lemon tea dan suasana Pasar Apung, termasuk fangirling dengan anak kecil sekalipun.

Rasa nyeri itu berangsur hilang dan Thania lega karenanya. Thania tak perlu lagi meminta belas kasihan anak PMR di saat-saat seperti ini.

Serempak, tiga gadis itu memesan minuman yang sama dan sepakat untuk tidak membeli makanan. Bagaimana jika dompet mereka tipis dan pada akhirnya gulung tikar?

Jelas, Thania tidak mau hal itu terjadi.

"Nat, bentar lagi udah mau selesai kunjungannya. Enggak apa-apa, nih?" Nindi bertanya khawatir, menghilang di antara khalayak dan memutuskan untuk berpetualang sendiri di kota Malang.

"Santai aja. Aku ini panitia. Bebas mah, kalau sama panitia. Lagian yang lain juga suka pada ngaret. Biarin kita ngaret." Nata memamerkan hak prerogatifnya sebagai panitia PKL tahun ini.

"Hidup seperti Larry. Berarti kita juga punya hak prerogatif buat lama-lama di sini, Than. Daebak! Puja kerang ajaib! Kita emang bukan panitia, tapi kita juga dapet hak prerogatifnya panitia. Aku tahu kok, kalau aku ini emang istimewa dari lahir." Nindi menciumi meja berkali-kali.

Thania memutar bola mata malas. "Aku enggak tahu harus bangga atau enggak. Cuma masalahnya dari tadi kita udah dipanggil lewat central-nya sini dan kita masih ngeyel aja."

"Biarin, panitia bebas." Nata meneguk minumannya hingga tetes terakhir, menaruh gelasnya agak dibanting, lalu beranjak. "Dah, yuk. Balik ke bus. Aku udah kangen Jogja."

Nata melenggang, meninggalkan Nindi dan Thania yang masih membatu di tempat. Matanya mengekori Nata yang sekarang melangkah berat menuju pintu keluar. Ucapan terima kasih merebak begitu Nata hendak menggapai pintu.

***

"Kita ... bukan yang terakhir, kan?" Nata memastikan. Jalanan menanjak dan bus mereka ada di atas sana. Ini yang Nata paling tidak sukai, mendaki menuju kesegaran surgawi.

"Masih ada anak IPS 2 di belakang," Thania berucap setelah sekian lama mengheningkan cipta. "Kita tidak sendirian, Nak."

Nata semringah dan sekarang melompat-lompat tak keruan. "Yaudah, sekarang pasti masih pada nungguin kita. Enggak mungkin kalau kita ditelantarin di sini."

Dari atas, badan bus pariwisata terlihat. Agaknya menuruni tanjakan dan melewati tiga perempuan yang tengah berjalan santai, tetapi orang-orang di dalamnya memandang mereka sadis. Thania membalas tatapan itu tak kalah sadis. Namun, segera ia menyadari satu hal.

Itu bus yang satu rombongan dengannya.

"Nat, bus yang lain udah pada jalan," ucap Thania melebarkan mata ditambah tersenyum ambigu.

"Terus?" Nata hanya membalasnya dengan satu kata yang sangat jelas maknanya.

Thania masih menampakkan ekspresi itu bahkan sekarang mimiknya sudah seperti tokoh yang tengah terkejut di film animasi di laptopnya. "Kita ditinggalin, Nat."

Hening sesaat dan bus lain juga melewati mereka santai. Tak ada yang berani berbicara, dua pasang mata tertuju pada Thania. Ditinggalin, itu adalah kata-kata paling horror yang pernah Nata dengar seumur hidupnya.

Dalam hitungan detik tanpa ada yang menyuruh, tiga dara itu langsung lari terbirit-birit seakan mereka sedang dikejar anjing. Bus 1 mengambali mereka dari jendela sisi kanan dan Evan juga memergokinya.

Alih-alih terperanjat, Evan menggeleng kalut. "Kok ya bisa mereka lupa waktu? Apa kalau udah keasyikan jadi kayak gitu ya?" gumam Evan seperti orang yang tengah menggerutu.

Namun, detik berikutnya Evan tersenyum kecil. Ini pertama kalinya Evan melihat wajah panik Thania dari sini. Thania lucu kalau panik, begitu batinnya berkata.

Ekspresi senang tak berlangsung lama, perlahan berganti menjadi sedih. Pikiran soal Thania yang kesakitan sewaktu ia mengatakan appendicitis itu masih menghantui otaknya. Aku tetep khawatir, Than.

***

A/N

Aku melihat notifikasi pagi ini dan membaca sebuah proyek besar-besaran yang sudah dinantikan para pengguna di dunia semu ini. Aku akan memasukkanmu ke sana. Iya, ke ajang itu.

Aku tak berharap kau memenangkan penghargaan itu. Aku hanya iseng memasukkanmu ke sana. Karena, aku yakin. Di antara satu dibanding seribu, kau bisa memeriahkannya meskipun kau tidak tahu dan tidak menang sekalipun.

Teruntuk Evan yang kuceritakan sejak Desember akhir tahun,

Kita akan meriahkan tahun ini dengan terus bercerita. Meskipun ada jutaan cerita luar biasa mengikuti ajang itu, kita akan terus bercerita. Lupakan segala kegundahan soal menang atau kalah. Bahwasannya, jika menang memang rezeki kita dan jika kalah, yang terpenting kita sudah turut memeriahkan.

Aku tidak peduli dengan nasib cerita ini setelah mengikuti ajang itu. Karena tujuanku mengikutinya bukan karena ingin memenangkannya, melainkan mencari kesenangan dan mencari pengalaman yang tak pernah aku dapatkan setahun lalu.

Apa pun yang terjadi, harus dibawa senang, bukan? Maka dari itu, karena aku akan membuat hatiku senang apa pun yang akan terjadi. Hei, jangan anggap aku adalah seorang pesimis. Aku hanya berpikir realistis. Supaya kelak tak terlarut dalam kekecewaan yang mendalam setelah pengumuman.


Dari gadis yang pernah ikut memeriahkan ajang itu,

Aku

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang