BAB 7

3.3K 365 61
                                    

JAM pelajaran bahasa Jerman memang melelahkan. Thania setengah menggerutu. Pasalnya, Pak Seto, guru bahasa Jermannya sekaligus tetangganya, terus-menerus menyuruhnya untuk menulis tugas di papan tulis. Pak Seto, entah kenapa bayangan Thania tertuju pada sosok Sigit di cerita 5: Future Fighter. Persis sekali, bedanya kehidupan rumah tangga beliau sangat aman dan damai. Tidak ada yang namanya istri melempar wajan ke suaminya.

"Thania Ira Pertiwi, kamu kenapa menggerutu terus?" lagi-lagi Pak Seto mengoceh, memergoki Thania menggerutu ketika menjalankan perintahnya. Beliau menaruh selembar kertas lagi di mejanya. "Nanti kamu tulis ini di papan tulis juga ya. Kertasnya ada di sini."

"Jangan biarkan guru-guru pemalas berkeliaran di negara ini." Thania tetap menulis dan terus menggerutu sampai Pak Seto berhenti menjadikannya sebagai asisten pribadi.

Pak Seto yang tidak sengaja mendengar ucapan kesal Thania, langsung menoleh ke arah cewek itu. Beliau mengernyit, ingin membuktikan bahwa telinganya masih berfungsi dengan baik. "Kamu bilang apa barusan?"

"Ah, Bapak. Aku dari tadi nulis kok, enggak ngomong. Telinga Bapak kayaknya salah denger. Coba diperiksa ke dokter THT. Orang dari tadi aku diam aja." Thania terus menulis, tersenyum kecut. Thania memang biasa mengatakan "aku" daripada "saya" ke Pak Seto. Karena, hubungannya dengan Pak Seto memang cukup dekat.

Sebatas murid dan guru. Karena, Thania enggak mau mencari suami setua Pak Seto.

***

Evan menaruh kepalanya di atas meja. Lelah mendengar ocehan guru yang tiada henti. Matanya membuka dan menutup. Berulang kali. Evan bosan dengan sejarah. Sejarah hanya mengingatkannya pada masa lalu, terutama mantan.

Tunggu, memangnya Evan punya mantan?

"Evan Dio Pratama!" suara Pak Bambang masuk ke telinga Evan dengan kecepatan kilat. Saat itu juga Evan terkesiap. Menegakkan tubuhnya dan berusaha agar tidak terlihat mengantuk.

"Iya, Pak?" sahut Evan cepat. Semua pandangan anak kelasnya pun berganti kepadanya. Bola mata Evan bergerak ke sana dan kemari, memerhatikan sekeliling.

Pak Bambang, guru sejarah, menghela napas panjang. Matanya yang kecil mengamati Evan kemudian. "Tolong perhatikan ya. Materi sejarah untuk IPS ini banyak loh. Nanti kalau kamu tidak mengerti bagaimana?"

Evan mengangguk lemah. Pak Bambang kembali menunjuk layar projector, hendak menerangkan kembali materi presentasinya. Namun, bel pulang sudah terdengar duluan. Meminta Pak Bambang untuk mengakhiri kegiatan belajar-mengajarnya dan Evan mengembuskan napas lega.

Interkom sekolah menggema, memberi tahu seluruh siswa untuk bersiap-siap menyanyikan lagu Padamu Negeri. Kebiasaan menyanyikan lagu wajib setelah sepulang sekolah memang sudah dilakukan cukup lama. Lebih tepatnya, ketika awal tahun ajaran baru kemarin ini.

Tujuan dibiasakannya menyanyikan lagu wajib juga untuk membangun sikap nasionalisme pada siswa sejak dini. Detik berikutnya, instrumen lagu Padamu Negeri dimainkan dari interkom dan semua siswa beranjak dari bangkunya masing-masing.

***

Evan menyelempangkan jaketnya dan melakukan kebiasaannya di sekolah, berdiri di balkon dan meratapi nasib. Ivan dan Reihan sudah pulang duluan, karena ada acara mendadak. Palingan cuma asyik nongkrong di warung burjo.

"Ibu ...!" suara melengking sekeras toa masjid itu muncul lagi, tetapi enggak sekeras biasanya. Yang ini lebih lembut.

Mendadak, Evan kehilangan keseimbangan. Ia dengan gesit berbalik dan mendapati guru tarinya, Bu Dewi Prajnandari alias Bu Depe, menarik tasnya agak kuat. Spontan Evan memberontak, berusaha menyelamatkan tasnya dari tarikan Bu Depe.

Mata cokelat Evan mengarah pada satu orang. Thania, cewek itu mematung seraya memerhatikan kelakuan antara guru dan murid. Tangannya sudah ingin menjabat tangan Bu Depe. Evan nyaris kikuk, tetapi yang terpenting adalah tasnya harus selamat dari cengkraman Bu Depe.

Bu Depe melihat ke Thania, kemudian berpindah ke Evan. Detik selanjutnya, wanita berkulit putih itu menyeringai jail. Jadilah, tas Evan dikenai tangan Thania. Dua remaja itu langsung kicep.

Terlebih Evan nyaris salah tingkah dan dirinya cuma diam seribu bahasa. Hormon adrenalinnya meningkat dan menyebabkan pipi Evan memerah. Bu Depe masih menampakkan ekspresi itu. "Cieee ...," Bu Depe pun tertawa.

Thania kaget, jelas. Tiba-tiba saja tas Evan ditempelkan ke lengannya tanpa alasan yang jelas. Namun, Thania lebih bisa mengontrol perasaannya dan ia menyalimi guru tarinya sewaktu kelas X dulu.

Cewek berkulit kuning langsat itu menatap Evan sekilas, lumayan tajam. Kalau saja tatapan Thania membunuh, Evan sudah sekarat dan detik berikutnya nyawa cowok berambut hitam lurus itu sudah melayang. Thania menundukkan kepala dan akhirnya pergi meninggalkan dua orang itu.

Entah kenapa jantung Evan bergejolak. Entah kenapa Evan jadi kecanduan, kecanduan ingin lebih dekat dengan Thania. Entah kenapa Evan jadi kikuk dan gelagapan sendiri, walaupun ia tak menampakkannya. Entah kenapa, hati Evan telah memilih.

***

A/N

Teruntuk Evan yang sedang di sekolah saat ini,

Terakhir kali aku melihatmu adalah hari Senin seminggu yang lalu. Kamu di sana, mondar-mandir enggak jelas di depanku. Dengan nakalnya juga, kamu mengambil teh panas untuk dirimu sendiri padahal teh itu diperuntukkan orang-orang sakit.

Untuk Evan, kamu jangan sampe sakit appendicitis ya. Karena, emang sakit dan sembuhnya lumayan lama.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang