BAB 29

1K 134 41
                                    

TERSENGAL. Akhirnya Thania sampai juga di tempat yang diinginkan bersama Nindi dan Nata. Entah kenapa begitu Thania menginjakkan kaki di sini, ia merasa perjalanannya itu sia-sia. Tidak ada apa-apa di atap, hanya ada replika pesawat komersial saja.

"Harusnya kita enggak usah ke sini." Thania tersenyum kecut.

"Enggak apa-apa," entah ini sebuah penghiburan atau kata-kata terjujur, Nata mengangguk seraya menyunggingkan senyum. "Lumayan ngerasain angin atap."

"Suasana ini mengingatkanku pada doi yang enggak bisa aku gapai," dan Nindi mulai mencurahkan segala isi hatinya kembali. Erangan demi erangan merebak keras, ciri khas dari Nindi Anita. "Hidupku dikelilingi masa lalu!"

Thania menepuk kening, mengutuki masa lalunya juga yang bisa bertemu dengan Nindi. Dia dan Nindi memanglah tidak sekelas sewaktu tahun pertama ajaran baru, tetapi pertemuan perdana mereka dimulai ketika Thania sakit-sakitan saat acara Trilogi Internal: MOPD, ODT, dan Kemah ODT.

***

ODT atau yang lebih dikenal dengan Orientasi Dasar Kepenegakan. Itu acara setingkat pramuka setahun dengan tambahan mutlak dan penuh drama. Kakak kelas yang sukanya marah-marah tanpa sebab.

Menurut Thania, kakak kelasnya tidak memiliki bakat akting dan justru Thania lebih berbakat dari kakak kelasnya. Bahkan Thania sempat berpikir untuk masuk ekskul teater, tetapi ia mengenyahkan pikiran itu disebabkan jadwalnya bertabrakan dengan jadwal ekskul fotografinya.

Thania menyelami kembali masa lalunya. Masa lalu saat pertama kali ia bertemu Nindi dan segala tetek bengeknya. Saat itu Thania tidak mau terlarut dalam kepalsuan ODT, jadilah ia berakting bahwa ia sedang sakit. Berkedok alasan sesak napas dan mual, akhirnya kakak kelasnya percaya.

Tiga hari berturut-turut dan Thania membunuh ODT dengan sandiwara juga. Kedok kakak kelas terbongkar ketika Thania tanpa sengaja menguping pembicaraan beberapa pengurus harian acara itu.

"Eh, dasa dharma yang kelima apa ya?" suara salah seorang panitia yang tidak dikenali Thania merayap masuk ke telinganya.

Bahkan kakak kelasnya tidak sadar. Dinding punya telinga. Dinding mengetahui rahasia besar yang tak diketahui sebagian besar angkatan Thania. Akan tetapi, dinding pula yang menjadi boomerang bagi kakak kelas itu. Dinding mungkin menjadi saksi bisu dan tak akan membocorkan apa pun yang ia dengar. Akan tetapi, akan ada saatnya dinding bermuka dua. Dinding yang membeberkan sebuah rahasia.

Thania mengetahuinya.

Kedok kalian sudah terbongkar! Kebenaran! Tidak pernah berbohong! batin Thania dengan nada ala Papa Zola kemudian dilanjutkan tawa jahat dalam hati. Adek kelas disuruh ngafalin. Padahal dia sendiri enggak hafal. Dasar kau, Pendusta Kebenaran!

"Ah, sudah kuduga ini cuma sandiwara," suara bindeng merambat masuk ke gendang telinga Thania jelas.

Mendengar itu, Thania menoleh. Ranjang di sebelahnya ada seorang gadis berkacamata seusianya, rebahan di sana. Tangannya memegang kening, sepertinya pening tengah menyergapnya. Tidak seperti Thania, gadis itu benar-benar sakit.

"Benar apa kata lirik lagu. Dunia ini panggung sandiwara," ia melanjutkan lemas.

Orang aneh, pikir Thania. Mata minusnya mencerling, mengamati papan nama yang tergeletak di sampingnya. Nindi Anita.

***

"Ah, membongkar kedok kakak kelas itu juga harus dilupakan?" Thania lalu tertawa keras mengingat setiap kejadiannya. Bahkan karena sering berpura-pura sakit, sewaktu kemah Thania dimasukkan ke dalam daftar tujuh orang sakit versi kakak kelas. Di mana Thania tidak boleh melakukan apa pun selain membersihkan tenda.

Nindi tersenyum lebar, memandang Thania dari samping. "Oh, iya. Di antara semua orang di angkatan kita, cuma kita yang tahu rahasia terbesar kakak kelas ya?"

"Rahasia apaan?" Nata kebingungan.

"Hanya aku, Thania, dinding UKS, dan Tuhan saja yang tahu." Nindi mengedipkan sebelah mata ke Thania genit.

Thania tertawa lagi, tetapi mendadak tawa itu hilang berganti menjadi wajah masam. Sakit. Itulah yang dirasakan Thania saat ini. Rasa sakit menyergapnya seakan-akan ada ribuan pisau yang menusuk di bagian perutnya. Sakit perlahan berubah menjadi nyeri yang mendalam.

Tolong, jangan lagi. Perut kananku ... sakit. Aku enggak mau, ini terulang lagi. Tahan, kamu pasti bisa menahannya.

***

A/N

Betapa liciknya aku waktu itu, mengetahui kedok kakak kelas yang marah-marah enggak jelas. Namun, aku tidak terkejut. Karena, memang mereka memintaku untuk melakukan sandiwara.

Jadi, kuturuti kemauan mereka. Melakukan sandiwara yang sukses mengalihkan perhatian mereka.

Ternyata, aku benar-benar licik.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang