BAB 12

2.1K 271 199
                                    

SEMUA orang berhambur, begitu pula Evan. Angin membelai rambutnya yang sedikit panjang, memundurkannya. Sepasang earphone tercantel di kedua telinganya, mendengarkan lagu kesukaannya.

Keramaian lorong alih-alih balkon kelas IPS dan IPA 7 tidak ia hiraukan. Evan benci keramaian dan akan terus begitu. Di bawah sana, para danus menjajakan dagangan mereka, memasuki setiap kelas.

Evan jarang membeli makanan dari mereka, para danus. Akan tetapi, jika sedang malas beranjak ke kantin, mau tak mau Evan harus mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan membeli makanan dari para pencari dana.

LINE!

Suaranya terdengar keras. Evan mencerling ponselnya lagi, menatap layarnya. Ada satu pesan, entah dari siapa. Jika dari official account, Evan akan langsung menghapusnya. Namun, apabila dari seseorang yang penting? Apakah ia akan tetap menghapusnya?

Dengan malas, jemarinya membuka aplikasi itu. Rautnya yang semula kusut, mendadak berubah menjadi cerah ketika membaca isi pesan itu. Pesan yang sudah ditunggu-tunggu sejak kemarin.

Basudewa Krishna : Tumben. Kangen sama aku ya?

Tak lama setelah itu, berbagai balasan dari Krishna muncul seperti serangan hujan meteor. Evan menduga temannya satu ini bukanlah manusia, tetapi robot.

Basudewa Krishna : Kalau rindu temui aku. Jangan kurang atau lebih.

Basudewa Krishna : Aku tahu, aku emang ngangenin.

Basudewa Krishna : Wajar aja sih, kalau banyak yang kangen.

Evan : Aku ngirimnya kapan, dibalesnya juga kapan. Oh, Amerika telah mengubah hidupmu banget ya.

Evan : Tega kamu melupakan hayati.

Basudewa Krishna : Ya maaf, jadwalku padet. Horang sibuk.

Basudewa Krishna mengirim stiker.

Evan : Apa kabar, Krish? Lama tak kirim-kirim pesan ya? Udah enggak ngurung di kamar lagi kan, ya? Katanya udah pindah ke NYC kamunya.

Evan tanpa sengaja melihat foto profil teman lamanya atau mungkin kenalan lamanya. Yah, Evan memang belum bertemu langsung dengan Krishna. Akan tetapi, rasanya seperti sudah pernah bertemu dan kenal begitu lama.

Evan hanya setahun mengenal lelaki itu. Berulang kali juga ia disuruh untuk terbang ke Amerika hanya untuk bertemu saja. Alih-alih ingin ke sana, tetapi Evan teringat pada dua hal mutlak.

Paspor dan biaya ke sana. Evan bisa pingsan jika mengingat dua hal itu.

Matanya menjelajah, memandangi foto profil kawannya itu. Ada dua orang di sana, laki-laki dan perempuan. Mata madu milik sang lelaki sukses menyita perhatian Evan, karena belum pernah ia melihat warna iris mata seindah itu. Dalam foto itu, tampak seuntai senyum melengkung di bibir keduanya, tampak bahagia.

Melihat hal itu, Evan hanya bisa tersenyum.

Evan : Itu fotomu sama pacarmu ya?

Evan : Banter banget ya, Mas Krish. Aku diduakan :(.

Basudewa Krishna : Alhamdulillah masih dikasih napas. Kamu juga masih hidup kan ya? Baguslah kalau masih hidup.

Basudewa Krishna : Pacar? Bukan, itu temen deket.

Basudewa Krishna : Van, aku geli bacanya.

Hawa itu kembali menyergap Evan. Angin dingin berembus, meraba kulitnya yang kuning langsat. Jantung Evan mendadak ingin melompat dari tempatnya, keluar dari sana. Instingnya membisikkan sesuatu, ada seseorang di sini selain dirinya.

Evan menoleh dan kontan bumi berhenti berotasi setelahnya. Thania, gadis itu di sana. Berdiri memandangi cakrawala dan hijaunya dedaunan. Jantung Evan berpacu liar dan dirasakannya pipi yang memerah.

Ia segera memalingkan pandangan, menormalkan degup jantungnya yang tak terkontrol. Entah kenapa Evan salah tingkah serta merasa canggung dan senang di saat yang bersamaan. Hati kecilnya menyuruh untuk mengajak Thania berbicara, tetapi nyalinya berbanding terbalik.

Evan hanya bisa memandang Thania dari tempatnya berdiri. Ponsel yang digenggamnya pun tak dilirik sama sekali. Fokusnya hanya ada pada Thania seorang, tidak ada yang lain.

LINE!

Ah, Krishna ini suka ngerecokin suasana aja, rutuk Evan dalam hati.

Jika Krishna ada di sini, sudah pasti ia cekik habis-habis anak itu. Sayangnya, dia tidak ada di sini, melainkan di belahan bumi yang lain. Dibacanya pesan yang baru masuk itu dengan wajah cemberut setengah mengutuki sang pengirim pesan.

Basudewa Krishna : Manusia itu aneh ya? Kalau udah puas, main tinggal gitu aja.

Basudewa Krishna : Dah ya, di sini udah malem. Aku mau tidur, ngantuk.

Evan : Krish.

Evan : Aku mau nanya.

Basudewa Krishna : Apa?

Evan bergeming membaca balasan dari Krishna. Ingin ia mengutarakan apa yang ia pikirkan selama ini, tetapi sebagian dari dirinya menolak, menyuruhnya untuk memendamnya.

Beberapa menit berlalu, bahkan bel masuk sudah berdentam keras, memberi peringatan pada seluruh warga sekolah untuk segera masuk ke kelas. Namun, tetap saja. Evan tak mengindahkan bel itu.

Diambilnya napas dalam-dalam, kemudian ia membuangnya perlahan. Jemarinya mengetik mantap, tetapi perlahan dan memberi titik setelahnya. Mata cokelat Evan membaca ulang kalimatnya itu.

Mengirim.

Evan : Krish, kamu pernah jatuh cinta?

***

A/N

Tinggal menunggu beberapa jam lagi, kau akan menggelar sebuah sendratari yang akan menentukan nasib nilai akhir semester ini. Aku akan ada di sana, memandangmu dari tempatku dan mengapresiasi kesenianmu.

Tinggal menunggu beberapa jam lagi, kau akan menginjak di usia yang baru.

Semoga kamu selalu diberi kelimpahan.

Dari gadis yang mengagumi sajak-sajakmu

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang