BAB 50

899 122 34
                                    

NYAWA Mbak Thania bisa terancam.

Evan membisu seketika, berharap telinganya salah menangkap perkataan dokter tadi atau sang dokter tengah bercanda. Akan tetapi, mustahil juga dokter bercanda di saat-saat seperti ini. Terutama sama pasiennya.

Tanpa sadar, Evan menjatuhkan kantong plastik berisi buah-buahan saking terkejutnya. Apel dan jeruk menggelinding keluar, membuat semua orang di kamar menoleh ke arahnya.

"Evan?" Thania mengernyitkan dahi. "Sejak kapan kamu di situ?"

"Sejak tadi!" pekik Nindi menjumput apel dan jeruk yang berceceran di lantai. "Gimana, Than? Udah baikan belum? Ini Evan ngotot minta jengukin kamu. Rindu katanya. Adaw!"

Nindi meringis ketika Evan dengan seenak jidat menyikutnya tanpa kenal belas kasihan. Alih-alih menormalkan suasana, Evan melempar senyum palsu pada Thania. "Jangan dengerin Nindi, Than. Dia sukanya nyerocos ngalor-ngidul. Kayak orang mabuk."

"Temennya Thania ya?" tebak si dokter, menunjuk Nindi.

"Iya, Dok. Soulmate-nya Thania selama sekolah. Thania enggak bisa hidup tanpa aku soalnya. Kalau aku enggak masuk, dia udah kayak tanaman layu." Nindi kemudian tergelak lantas langsung terhenti ketika Evan menyikutnya lagi.

Dokter itu manggut-manggut lalu berpaling ke Evan. "Yang ini pacarnya ya?"

Thania yang baru saja meneguk minuman langsung tersedak, berusaha mengeluarkan air yang masuk ke saluran pernapasannya. Thania bingung, kenapa dokter bedah itu tega semua?

"Bu-bukan, Dok. Ini temennya, bukan pacarnya!" Evan mengelak dikatakan pacar meskipun sebagian dirinya juga menginginkan hal itu.

"Masa? Kamu enggak kelihatan kayak temen." Dokter itu pun menelisik Evan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Belum resmi, Dok. Belum resmi merekanya." Nindi ikut mengompori. "Udah saling suka tuh, Dok. Jadiin aja, Dok. Jadiin!"

Si dokter pun geleng-geleng agaknya bingung. "Dah, dah. Istirahat dulu, Mbak Thania. Nanti kalo ada apa-apa bisa minta tolong sama pacarnya ya, Mbak. Operasinya besok kalo semua udah bagus ya, Mbak."

Nah, kan. Si dokter kambuh lagi gilanya. Entah kenapa hampir semua dokter bedah itu gila. Thania tersenyum kecut lalu menangguk ragu. Berbeda dengan Evan yang justru malah menyembunyikan wajahnya, memerah.

Sang dokter pun menyeringai, pergi bersama coass-nya tanpa meninggalkan sepatah kata. Ketika dokter sudah benar-benar pergi dari kamar Thania, barulah gadis berkacamata itu berkata, "Nindi belum pernah ngerasain dibedah hidup-hidup?"

"Belum dan enggak perlu, Than. Makasih." Nindi cengar-cengir mirip kuda.

"Than, kamu sakit apa to?" Evan bertanya penasaran.

Thania menatap lelangit. Dua pasang lampu terlihat terang, menyinari ruangan di sana. Separuh dirinya enggan mengatakan penyakit apa yang menggerogoti dirinya, tetapi sebagian lagi mendesak untuk memberi tahu Evan dan Nindi.

Embusan napas kasar keluar dari hidung Thania. Mata cokelat terang indah yang biasa Evan lihat pun terpejam. Deru napas halus samar-samar terdengar. Thania seperti mencari jawaban yang sekiranya pas.

"Bukan sakit parah kok, Van. Paling besok juga sembuh." Thania memaksakan untuk tersenyum meskipun batinnya menolak melakukan hal itu.

"Kok kata dokter gila tadi," ––Evan pun sepemikiran dengan Thania–– "kamu belum bisa operasi. Kalo kamu operasi, nanti nyawamu terancam. Kamu sebenarnya sakit apa?"

Thania bisu. Ia tidak yakin akan mengatakan hal ini pada Evan. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Thania melakukannya.

"Van, gimana kalo besok aku enggak selamat?"

***

A/N

Aku hadir di sebuah cerita singkat yang belum pernah kalian jeramahi di dunia orange ini.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang