BAB 48

833 116 34
                                    

Terlempar ke Masa Lalu

***

"EVAN, aku mau nanya. Kalau kayak gini itu caranya––"

Belum selesai gadis itu berbicara, Evan sudah memotongnya dengan seringai tanpa dosa, "Oh, oke, oke. Itu gampang, kamu mesti bisa."

"Van, aku belum selesai ngomong," keluh gadis itu.

"Kamu enggak usah nyelesaiin omonganmu, aku udah tahu arah bicara kamu mau ke mana," begitu kata Evan dengan percaya dirinya seolah-olah dia bisa membaca pikiran teman SD-nya itu.

Wajah gadis itu tertekuk. Bibirnya sedikit dimonyongkan. Ia menghentakkan kaki, menjauh dari Evan yang sekarang tengah memandangnya penuh kejailan. Dalam hati, gadis itu menggerutu, tidak suka dengan sikap sok tahu Evan. Tanpa gadis itu ketahui, Evan tertawa geli karenanya.

"Dadah!" Evan melambaikan tangannya.

***

"EVAAAAAAAN!" teriakan yang memekakan telinga, menggema di seluruh penjuru SMPN 9 Yogyakarta. Dini memelototi Evan yang kini berlari sambil tertawa, kabur dari kejaran Dini.

Tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya, Evan menabrak mereka bahkan tak mengucapkan maaf seakan-akan itu bukan kesalahannya sama sekali. Sesekali Evan menoleh ke belakang, memastikan Dini tidak mengejarnya.

Ya, Evan baru saja memorak-porandakan meja Dini dan menaruh tas teman sekelasnya itu di atas pohon. Orang-orang menatap ke arahnya heran seolah baru saja melihat ada anak kecil lari terbirit-birit sambil menyeringai lebar.

"Duh, ini mesti buat gara-gara lagi kalo kayak gini," tebak Iva, menatap tajam Evan yang baru saja berlari melewatinya.

"Buat gara-gara apa emangnya?" Nindi menyeruput es tehnya dengan nikmat.

Iva menaikkan satu alisnya. "Serius, Nin, kamu enggak tahu? Evan itu nyebelin, Nin. Sukanya ngacauin kelas sama jailin anak-anak. Kalo udah lari-lari kayak gitu udah bisa ditebak dia habis ngapain."

"Ngapain emang?" Nindi bertanya lagi.

"Jailin orang lagi mesti mah! Kamu enggak tahu ya, Nin. Banyak anak kelasnya yang sebel sama dia, terutama cewek-cewek."

"Kenapa?"

"Dia suka motong omongan orang, kabur dari kelas pas pelajaran, enggak pernah yang namanya dengerin omongan orang, sok tahu, banyaklah hal-hal yang enggak disukai dari dia."

"Suka tawur iya, enggak?"

"Ya, mana aku tahu. Emangnya aku ini mata-matanya Evan apa?"

"Siapa tahu? Kamu itu orang paling up to date dari aku."

***

Kelas ramai dan sekarang satu kelas menggerombol, membentuk sebuah kelompok yang terdiri dari lima anak. Di sinilah Evan, duduk santai tak mendengarkan diskusi teman-temannya.

Ayunda, gadis itu melirik Evan yang sekarang tengah memainkan ponsel dan menyumpali kedua telinganya dengan earphone kebangsaannya itu. Terdengar helaan napas kasar dari gadis mantan anak paskibraka tingkat kota itu.

"Van, kamu dengerin kita lagi diskusi enggak, sih?" tanya Ayunda sedikit sinis.

Evan mengangguk, tetapi pandangannya tetap pada layar ponselnya. "Dengerin kok, dengerin."

"Nanti tugasmu––" Ayunda menggantungkan kalimatnya.

"Oh, iya, iya. Oke, aku paham," Evan memotong telak.

Ayunda mendesis sebal. "Van, kalo orang ngomong itu––"

Evan terbahak, mengabaikan Ayunda yang kini menatapnya seperti tatapan Medusa. "Ngerti kok, Yun. Aku udah tahu kerjaanku apa. Kalian lanjutin aja ngobrolnya. Kalo aku ikutan ngobrol nanti kalian sambat."

Lelaki itu bangkit. Tiba-tiba saja tangan Evan menyambar korsa ekskul masak yang ditaruh Dini di meja. Spontan Dinda mendelik, tercengang melihat Evan yang kini mengenakan korsa berwarna abu-abu plus merah itu.

"Van, balikin korsaku, Van!" seru Dinda.

"Enggak mau. Aku mau pake korsamu dulu!" Evan berlari kencang, tawanya terdengar menggelegar.

Seperti yang Evan duga, Dinda mengejarnya. Acapkali meneriakkan Evan untuk mengembalikan korsa yang dipakainya itu. Di depan Evan, ekor matanya menangkap sesuatu. Thania, gadis yang sukses membuatnya penasaran setengah mati.

Gadis itu mengamatinya bingung. Nyaris saja Evan menabrak Thania, tetapi untung saja ia tidak jadi menabrak Thania. Kalau sampai ketabrak terus Thania gegar otak, Evan bisa dituntut.

***

"Di antara semua orang di SMA 5. Aku paling benci sama Evan. Itu anak sok tahu banget. Di depan guru juga sok akrab. Enggak usah jauh-jauh, begitu kamu ngomong sama dia, langsung dipotong. Benci aku sama cowok kayak gitu," Ayunda pun mencurahkan isi hatinya pada Tekse, Fanny, Devi, dan Thania.

Fanny cuma bisa manggut-manggut. "Setiap hari dia kayak gitu?"

"Setiap hari," jawab Ayunda telak. "Satu kelas itu pada benci sama Evan. Tiap hari Evan itu ngerepotin kami. Dikata kami ini warga desa yang nyari ternak hilang. Tahu, enggak? Ternyata dia itu kaburnya mesti ke kantin! Apa enggak nyebelin?"

Thania, Tekse, dan Devi hanya terdiam, memandang Ayunda beserta Fanny yang asyik berbincang. Thania tidak tahu apa yang harus ia katakan. Pasalnya, Thania tidak kenal betul Evan. Gadis itu lebih memilih diam dan berada di posisi netral.

Mungkin saja, Evan tidak seperti yang Ayunda pikirkan, pikir Thania acuh tak acuh.

Tanpa sepengetahuan Ayunda, Evan mengintip di balik lemari piala. Dada Evan mendadak sesak. Napasnya mengikis tenggorokan. Sakit, sakit rasanya. Evan berpaling, memejamkan mata dan mengatur napas.

Evan mengetahui satu hal. Satu hal yang tak pernah ia ketahui. Evan tahu––dari TK sampai sekarang, teman-temannya selalu memasang wajah tak suka padanya––rupanya mereka membenci Evan.

***

A/N

Kamu pernah nyaris menabrakku ketika kamu dan Dinda berlari hanya karena berebut korsa.

Kamu tahu aku ada di sana dan kamu hanya melirikku tanpa melunturkan seringai menyebalkanmu.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang