BAB 9

2.7K 321 46
                                    

KALA itu Thania memandang smartphone-nya kosong. Menunggu tanda-tanda penulis kesukaannya memperbarui cerita yang tengah dibacanya, sekaligus menunggu Mila yang baru sibuk mengerjakan tugas akuntansi yang memuakkan.

Thania benci ekonomi sekaligus akuntansi. Ia bersyukur masuk kelas IPA dan ini menjadi salah satu faktor kenapa Thania ngebet pengin masuk IPA.

Akan tetapi, kelasnya termasuk IPA akhiran. Dalam arti, kelasnya terpencil dan sering dikira anak IPS. Namun, dengan sopan Thania selalu menjawab, "Anak IPA 7."

Seketika mental orang yang mengira Thania anak IPS langsung terguncang, hebat.

Dimasukkannya kembali benda elektronik itu ke dalam saku roknya dan memandang sekeliling. Pemandangan yang sering ia dapatkan adalah para danus yang berseliweran seraya menjualkan makanannya kepada siswa-siswi dan para panitia acara yang sedang berkumpul membahas soal tugas serta peran mereka.

Thania menghela napas gusar. Rasa bosan telah membunuhnya perlahan. Entah kenapa ia melirik ke kiri dan mendapati seorang cowok dengan headset-nya lagi-lagi berdiri di balkon sambil bersenandung lirih.

Anak itu, pikir Thania. Kadang ia suka jengkel sendiri kalau tiba-tiba Evan muncul kayak jelangkung, mengagetkan.

Di saat yang sama Evan juga menoleh ke Thania, tepat saat cewek itu tengah menatapnya. Asem, Thania ngapain ngelihatin sini? tanya Evan dalam hati.

Njir, ketahuan aku ngelihatin dia, tapi kalo aku langsung buang muka malah tambah parah. Hasyem, jadi serba salah, rutuk Thania dalam batin.

Apa jangan-jangan dia tahu kalo aku suka modus terus suka ngelihatin dia? Simbok, Evan-mu ini tak sanggup menghadapi betina buas kayak Thania. Ujung-ujungnya Evan malah berdebat dengan dirinya sendiri.

Mata Thania memicing, cukup untuk membuat mangsanya sekarat dan saat ini Evan-lah mangsa Thania. Melihat pemandangan itu, Evan langsung gemetaran. Sebenarnya, ia cuma pengin tahu soal Thania saja, tetapi sepertinya Thania sangat protektif pada dirinya sendiri. Apa lagi sama cowok kumel kayak Evan.

"Abang Vanvan sayang!" Ivan pun mengagetkan Evan dengan nada menggoda. Lantas Evan pun melonjak kaget. Ivan terheran-heran karena biasanya Evan enggak kagetan. "Kamu kenapa, Bang?"

Evan mengatur deru napasnya yang tak beraturan, kemudian memelototi Ivan garang. Ivan yang ngeri langsung menjaga jarak. "Bang, jangan melotot entar matanya copot."

"Terserah deh, Van. Terserah," lantas Evan memalingkan muka, mencoba mencari keberadaan Thania. Akan tetapi, gadis itu tak ada di sana. Ke mana perginya Thania? "Ahilah, pergi, deh. Kamu, sih. Gangguin orang aja."

Ivan melongo. Ini kenapa jadi Ivan yang salah? Ia cuma menyapa Evan, tetapi apakah hal itu salah? "Kok aku? Van, aku perhatiin dari kemarin kamu makin aneh. Lagi jatuh cinta apa?"

"Siapa yang jatuh cinta?" balas Evan juga dengan pertanyaan. Entah ini jatuh cinta atau bukan, tetapi pikiran Evan tak kunjung berhenti memikirkan sosok yang selalu menghantuinya setiap waktu. Thania.

"Denger ya, Van. Mata enggak bisa nipu. Kamu lagi jatuh cinta atau enggak, matamu sudah memberi tahuku duluan," Ivan mengingatkan.

"Perasaanmu kali," Evan berusaha tidak memedulikan Ivan yang semakin lama semakin curiga dengannya.

Ivan memicingkan mata, mengambal Evan penuh selidik. "Atau jangan-jangan kamu emang suka sama Thania ya?"

Deg.

Ini tidak mungkin. Kenapa Ivan bisa tahu? Ia tidak pernah memberi tahu siapa pun soal perasaannya. Akan tetapi, ini masalahnya Ivan. Cowok itu memang enggak pernah memikirkan masalah perempuan, tetapi kenapa? Kenapa Ivan bersikap seperti itu?

Sampai sekarang pun Evan juga masih bingung. Apa dirinya telah jatuh cinta pada seorang gadis?

***

A/N

Teruntuk Evan,

Cieee ... yang kemarin Senin ngelirik-ngelirik ke sini. Cieee ... yang besok Sabtu mau pentas teater. Semoga sukses pentasnya. Maaf tidak bisa datang, karena malem minggu ada acara sama kasur 😂😂

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang