BAB 54

1.2K 119 31
                                    

Track for this part

Fight for Love

AndyWu Musicland

***

APPENDIX berhasil dikeluarkan dan sang dokter pun segera menjepitnya dengan dua gunting verban lalu memotongnya hati-hati. Namun, sesuatu menyentakkan kerumunan dokter itu.

Cairan kental berwarna merah segar mengucur deras. Memang selama operasi sangat lumrah terjadi pendarahan, tetapi hal ini justru sangat berbeda. Seakan-akan tubuh Thania memuntahkan semua darah yang mengalir di dalamnya.

"Darahnya tidak mau berhenti, Dok."

***

Deg!

Evan memegang dadanya. Entah kenapa ia merasakan sesak dalam dadanya. Aneh, kenapa dadaku jadi sesak begini?

Bel masuk sudah dibunyikan sejak setengah jam lalu dan Evan belum beranjak dari masjid yang semakin sepi alih-alih malas bersua dengan teman tapi musuhnya. Mendadak perasaannya tidak enak. Mendadak Evan mencemaskan Thania. Apakah dia baik-baik saja?

Pikiran Evan semakin berkecamuk. Jantungnya berdebar kencang seperti drum yang ditabuh keras. Keringat dingin mengalir perlahan dari pelipisnya. Firasat Evan semakin buruk. Ingin rasanya ia pergi ke rumah sakit sekarang juga.

Tak lama kemudian, Evan bangkit. Dikenakannya sepatu hitam kesayangannya dan berlari menuju kelas. Sekarang jam pelajarannya Bu Cip. Persetan dengan Bu Cip. Evan hanya ingin mengambil kunci motor dan pergi ke rumah sakit sekarang.

Tangga yang menjadi saksi bisu antara ia dan Thania berhasil dinaiki. Bayang-bayang Thania menghantui dirinya. Evan membuka paksa pintu yang tertutup, mengejutkan semua orang di dalamnya. Bahkan Bu Cip terbelalak karenanya.

Evan berlari menyambar tas dan kunci motornya kemudian berbalik hendak meninggalkan kelas.

"Evan Dio Pratama! Kamu mau pergi ke mana?!" tanya Bu Cip agak keras. Suaranya terpantul pada dinding bisu.

Evan berhenti, tetapi ia tak menoleh. Rautnya mengeras seolah sudah tahu adegan drama berikutnya. "Mau pergi ke mana pun saya, Ibu pasti juga tidak akan pernah mau mengetahuinya."

Bu Cip mendelik. Emosinya memuncak ketika Evan membalas seolah kalimat barusan itu merupakan ajakan berperang antara Evan dan Bu Cip. "Kamu mau melawan saya?"

"Saya tidak pernah yang namanya melawan guru, Bu Cip. Ada orang yang paling penting bagi saya sedang sekarat di rumah sakit. Saya mau minta izin ke sana sekarang," ucap Evan datar.

"Tidak boleh."

***

"Hasil lab tadi pagi bagaimana?" tanya sang dokter panik.

"Semuanya bagus, Dok, tapi sekarang pendarahannya tidak mau berhenti. Sepertinya trombosit pasien ini turun lagi."

Deg!

***

"Kenapa tidak boleh?" Evan akhirnya memandang wajah Bu Cip yang sudah geram, gusar, dan jengkel, bercampur menjadi satu.

"Karena, saya tahu kamu cuma mau kabur dari pelajaran saya." Bu Cip menatap Evan angkuh seakan memenangkan pertempuran ronde pertama.

Evan tersenyum getir. Ia sudah menerka akan begini jawaban guru Bahasa Indonesia-nya itu. "Konyol. Saya sedang tidak berbohong, Bu. Saya harus ke rumah sakit sekarang."

"Sekali saya bilang tidak, ya tidak!" pekik Bu Cip naik pitam.

"Maaf, Bu, tapi saya akan tetap pergi. Ada orang yang butuh saya di sana dan saya harus pergi. Permisi." Evan melempar senyum pahit tanda perpisahan, segera menarik langkah. Namun, Abdyan dan Reihan mengadang, tak ingin membiarkan Evan pergi begitu saja. "Minggir kalian."

"Jangan cari masalah kamu, Van." Reihan mengingatkan kalut. "Tolong jangan pergi atau nanti kamu bakal dapet yang lebih parah dari ini."

Evan bersikukuh untuk pergi. "Aku mau pergi, Han. Minggir kalian! Aku mau lewat!"

Reihan dan Abdyan mendekat, menghalangi Evan yang nyaris menerobos mereka seperti terjangan banteng mengamuk. "Van, jangan gitu, lah. Kenapa kamu keras kepala kayak gini? Apa yang membuatmu enggak nyaman di sini? Kamu bisa cerita semuanya ke kami, Van, tapi please jangan pergi!" desak Abdyan akhirnya menengahi.

"Cerita? Aku harus cerita soal apa?" Evan memekik. "Minggir! Aku mau pergi!"

"Van, kalau kamu kayak gini justru malah nambah masalah!" Ivan yang semula diam akhirnya ikut turun tangan. "Van, kami ini temanmu."

"Teman? Teman apanya? Teman yang nusuk di belakang?" Evan muak dengan semua temannya yang kini berusaha menahannya lebih lama di kelas ini. "Minggir!"

"Sana kamu pergi dari sini! Jangan pernah kembali lagi di pelajaran saya, kelas ini, ataupun sekolah ini kalau perlu!" Bu Cip naik darah, tak bisa lagi menahan kesabarannya.

Evan tersentak seolah perkataan Bu Cip itu hujan anak panah yang menusuk telak ke jantungnya. Sakit, cukup membuat Evan mati rasa untuk sesaat. Dengan paksa, Evan menyimpulkan senyum pahit. "Baik, saya akan pergi."

Evan menerobos dua temannya, berlari dengan hati retak meninggalkan tempat yang memiliki kenangan kelam di dalamnya.

***

Embusan napas ringkih terdengar halus dari Thania. Gadis itu sekarat dengan darah yang terus mengucur deras dari luka sayatan di perutnya. Para dokter sibuk menolong pasien mereka dengan berbagai cara.

Thania terlihat pucat, kekurangan darah. Matanya terpejam, tak ingin membuka. Efek obat tidur yang diberikan memang belum habis. Dalam ketidaksadaran, Thania melawan kematiannya sendiri. Napas Thania semakin lemah setiap detiknya, membuat empat dokter di ruangan sepi nan dingin itu harus bekerja ekstra.

Komputer di sebelah Thania berbunyi nyaring, ritmis. Gelombang-gelombang di layar mendadak lemah nyaris membentuk sebuah garis.

***

"Evan! Kamu mau ke mana?" Pak Beni, guru Bahasa Jawa pun kebingungan ketika memergoki Evan berjalan dengan wajah gusar tanpa bertegur sapa dengannya. "Evan! Evan, kamu mau ke mana?"

Tanpa menjawab, Evan segera berlari ke parkiran motor. Beruntung motornya berada di depan, jadilah ia tak perlu berjalan terlalu jauh dan bisa ke rumah sakit dengan cepat.

"Evan. Hei, kamu mau ke mana?" Pak Beni nyaris menyentuh pundak Evan, tetapi yang ingin disentuh langsung menancap gas tanpa memedulikan Pak Beni yang berusaha menghalanginya.

Jalanan Yogyakarta semakin ramai, mengingat hari ini hari Jumat dan waktu sudah mendekati jumatan. Jarum spidometer menunjukkan angka tujuh puluh dan terus bertambah. Dengan kecepatan setinggi itu, Evan cemas.

Apakah Thania akan baik-baik saja?

***

A/N

Evan, waktumu tinggal tiga bagian lagi sebelum aku benar-benar mengakhiri kisah fiksi ini.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang