PERAWAT rumah sakit berseliweran. Entah itu tengah berbincang dengan sesama perawat, bersiap untuk pulang, mendorong kursi roda pasien, atau malah membuntuti dokter. Semburat mentari tampak di ujung barat. Langit jingga menyambut hangat para kerabat pasien yang datang menjenguk.
Jarum panjang menunjuk angka 12. Tepat pukul lima sore, Evan tiba di rumah sakit bersama Nindi. Rumah Sakit Panti Rapih baru memperbolehkan para penjenguk untuk datang ke bangsal pukul lima hingga enam sore.
Para biarawati dan perawat sudah siap dengan lentera beserta lonceng. Evan tidak tahu pasti kenapa para biarawati repot-repot membawa lentera padahal sudah ada lampu penerangan di setiap sudut rumah sakit. Ah, Evan tidak terlalu peduli.
Gedung Carolus, akhirnya dua orang itu sampai. Netra cokelat gelap Nindi menatap lurus ke depan. Terpampang nyata tulisan "RUANG BEDAH" yang kini sukses membuat Nindi bergidik ngeri.
"Van, itu besok Thania masuk ke sana?" Nindi mencerling ruang beda berkali-kali, menyamakan langkah dengan Evan.
"Masuk ke mana?" Evan berbalik menanyai.
"Ruang bedah," celetuk Nindi ngeri sendiri.
"Jelaslah, kalo kondisinya udah bagus kan, dia ke sana. Kemarin sempet chat sebentar sama dia soalnya. Kondisinya belum stabil," jawab Evan acuh tak acuh.
Hawa aneh menggelitik tengkuk Evan. Insting memberi tahu lelaki berparas manis itu seolah memeringatkannya soal ada setan tepat di samping Evan. Evan menoleh dan mendapati Nindi menyeringai jail, mengingatkannya pada Kuntilanak.
"Aduh, Mas. Aku meleleh. Kamu perhatian banget, sih? Kapan Troye kayak gitu sama aku?" Nindi menutup sebagian wajahnya, menunjukkan raut takjub pada Evan.
Tangan Nindi ditariknya, Evan membuang muka dan mempercepat langkah agar bisa sampai ke bangsal Thania sebelum waktu besuk sudah habis. "Lama-lama aku masukin kamu ke kamar mayat, Nin."
Lantai tiga ruang 314 gedung Carolus, perjalanan mereka masih cukup panjang.
***
Di ujung lorong, para perawat berpakaian serba putih bersiap-siap untuk bertukar jaga. Entah kenapa Evan selalu takut ketika melihat perawat. Memori suster ngesot terpancing ke permukaan. Jadilah, Evan mengabaikan segerombolan perawat yang berkumpul di nurse station.
Sepanjang lorong, hanya hening yang menyambut. Pintu kamar tertutup rapat seolah tak ingin keramaian luar ikut campur di dalam. Sepanjang lorong hanya tangisan bayi yang terdengar.
Ya, Thania ditempatkan di bangsal Ibu dan Anak dengan alasan, kamar di gedung Elisabeth penuh total.
"Waduh, aku enggak bisa bayangin begitu Thania masuk sini. Nanti kalo dia dikira mau ngelahirin gimana, Van? Muka Thania kan, agak kelihatan lebih muda dari usianya," celetuk Nindi setengah berbisik.
"Jangan berburuk sangka," Evan mengingatkan.
"Bukan berburuk sangka, Van. Ini kenyataan! Van, Thania cerita pas ditaruh di sini. Semua kerabat para calon ibu yang mau ngelahirin, terutama calon nenek-nenek itu pada ngelihatin Thania sinis! Kayak ... 'Ini mesti hamil di usia muda'." Nindi menirukan gaya bicara ibu-ibu.
Evan menepuk pundak Nindi sedikit keras. Dipandangnya teman SMP merangkap SMA itu sadis. "Kalo ngomong direm, Nin. Jangan ngawur kalo ngomong. Kalo ibu-ibunya denger, mati loh kamu. Ibu-ibu itu sadis, penguasa jalanan."
"Remnya blong, Van. Terus, hubungannya aku sama emak-emak penguasa jalanan itu apa ya?" Nindi tersenyum lebar.
"Cari sendiri hubungannya," jawab Evan acuh tak acuh.
Ruang 314, akhirnya setelah perjuangan naik tangga karena lift pengunjung itu penuhnya mengalahkan padatnya penduduk Jakarta lalu melawan rasa takut pada perawat. Akhirnya, mereka sampai juga di bangsal Thania.
Tangan Evan meraih gagang pintu, mendorong sedikit pintu itu halus. Namun, baru satu langkah Evan dan Nindi masuk, sesuatu menghentikan langkah mereka.
"Ini kan, saya baru ngecek darah Mbak Thania. Saya sebenernya bingung karena ini kasus pertama kali yang saya hadapi," suara dokter pria merambat halus ditambah jelas di telinga Evan dan Nindi. "Trombosit Mbak Thania itu turun-naik-turun-naik dan Leukosit Mbak Thania juga di atas batas normal. Saya tidak bisa memastikan penyebab dari penyakit Mbak Thania. Kemungkinan kena DBD, tapi anehnya kalo DBD biasanya trombosit turunnya anjlok."
Jantung Evan berdentam liar. Keringat dingin mengucur deras. Ada apa dengan Thania? Sebenarnya dia sakit apa?
"Kalau kondisi pasien seperti ini, saya belum berani mengambil tindakan operasi. Karena, hal itu sangat berisiko. Nyawa Mbak Thania bisa terancam. Jadi, kita tunggu besok. Semoga saja semuanya stabil. Kalau semua stabil, Mbak Thania bisa operasi setelah itu," begitu lanjut dokter.
"Jadi, sebenarnya saya sakit apa?" Evan bisa mendengar suara Thania yang lemah.
"Saya tidak tahu. Kemungkinan Mbak Thania terkena virus dengue, tapi ini masih saya observasi karena penyakit Mbak Thania ini aneh, menurut saya. Besok pukul lima pagi, darahnya saya cek lagi ya? Biar bisa dilihat perkembangannya," jawab sang dokter lembut.
Entah kenapa Evan ingin bumi menelannya mentah-mentah.
***
A/N
Nyawaku pernah terancam beberapa hari sebelum ulang tahunku. Akan tetapi, kamu tidak tahu seberapa banyak penyakit yang harus aku lalui di awal tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...