BAB 31

959 132 9
                                    

INDONESIA mungkin tak pernah tidur setiap harinya. Selama 24 jam nonstop, masih menampakkan kehidupan. Beberapa jam lagi, Thania akan tiba di kota kelahirannya lebih tepatnya di sekolahnya. Dari jendela bus, Thania memandang, menikmati semburat mentari dari ufuk timur. Untunglah, matahari belum muncul dari barat.

Jalanan masih terbilang sepi. Hanya truk, bus, dan beberapa kendaraan pribadi yang melintas sejauh mata memandang. Gadis itu berkemas dan berusaha memelankan suara. Fanny, teman sebelahnya masih terlelap. Ia pasti kelelahan, Thania tidak ingin mengganggu tidurnya.

Gapura batu pembatas antara Provinsi Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta berdiri megah di depan. Di sisi kanan, Candi Prambanan menyambut kedatangan mereka dengan ramah ditambah keeksotisan Gunung Merapi di belakangnya.

Thania rindu pemandangan ini.

Bus Trans Jogja menjauh dari halte, berhenti di ujung jalan, dan bahkan bus pun memiliki tata krama. Anak jalanan tengah duduk santai di pinggir trotoar. Berbalut baju lusuh tak terurus, mereka menikmati udara pagi yang masih sedikit berpolusi.

Lampu menyala hijau, bus Thania memelesat menuju jalanan yang dikawal oleh serdadu pohon raksasa. Bogem dan segala aktivitasnya. Para penjual dawet belum tampak pagi ini, mungkin mempersiapkan dagangan untuk siang harinya.

Sudah tiga hari aku pergi, kini aku kembali.

***

SMAN 5 ada di depan mata. Satu per satu koper telah diturunkan. Thania menyeret kopernya yang kecil lalu berbincang sebentar dengan Tekse. Hampir seluruh murid kelas XI sudah tiba dan mereka menunggu jemputan.

Sebagian dari mereka ada yang duduk di lobby dan sebagian lainnya tengah bercanda dengan komplotannya. Samar-samar Thania melihat ibunya di seberang jalan, melambaikan tangan ke arahnya. Ibu sudah datang. Baru saja ia hendak ke tempat ibunya, asisten supir bus menghampiri Thania.

"Mbak, ini payung punya, Mbak?" tanya pria bertopi senada dengan seragamnya.

"Bukan, Mas. Saya enggak bawa payung sewaktu ke Malang," ucap Thania sopan.

Pria itu langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Berkali-kali ia celingukan agaknya mencari sang pemilik payung. Akan tetapi, yang menjadi masalah pria itu adalah siapa pemiliknya?

"Duh, gimana ya? Ah, gini aja, Mbak. Ini Mbak yang bawa, taruh di sana. Di lobby. Siapa tahu emang yang punya payung nyariin." Pria itu memberikan Thania payung merah temuannya. Yang diberi mengamati saksama payung itu. Siapa tahu Thania mengenalinya. "Tolong ya, Mbak."

"Oh, iya, Mas." Thania menyimpulkan sebuah senyuman. Mata minus yang terbingkai kacamata pun menyipit persis bulan sabit.

"Terima kasih." Pria itu melenggang, menyusul rekannya yang sibuk di dalam bus.

Tanpa basa-basi, Thania ngacir telak ke lobby. Gilang ada di sana agaknya sibuk berbenah. Bagus, bisa titip sama Gilang, pikir Thania lega.

"Lang," panggil Thania, "bisa minta tolong enggak?"

"Tentu saja," Gilang yang tadinya sibuk beres-beres, sekarang memandang gadis yang mengajaknya berbicara. "Mau minta tolong apa?"

"Ini, ada payung merah ketinggalan di busku. Aku mau nitip ini, kali aja emang ada yang punya terus nyariin. Bisa?" Thania menggigit bibir, menatap manik mata Gilang.

"Woiya bisalah. Titip sini aja. Nanti yang punya bakal nyariin payungnya kok, tapi lama-lama lobby jadi mirip pusat informasi. Ditemukan barang hilang yang ditinggalkan pemiliknya," Gilang menirukan suara-suara yang biasanya muncul lewat interkom ketika petugas menemukan anak hilang atau barang temuan.

Thania tertawa. Ia memalingkan wajah ke kanan, masih menampakkan senyuman manisnya. Senyuman yang jarang Thania tunjukkan. Netra minusnya menangkap Evan tengah duduk di salah satu motor, mengamati Thania dari sana.

Terdiam dalam ramai, Thania mengulun senyum untuk Evan.

Deg!

Jantung Evan berdebar kencang. Pipi Evan memerah bahkan merahnya mengalahkan kepiting rebus. Membeku dan mematung di tempat. Samar, Evan menyunggingkan senyum sebelah. Ia canggung. Gadis yang ia kagumi menatapnya, menyadari keberadaan Evan, menganggap Evan ada, dan ... tersenyum untuk Evan.

Apa yang aku dapatkan ini? Thania tersenyum? Untukku? Apa aku sedang bermimpi. Tuhan, jika memang Thania tersenyum untukku, tolong jangan pernah lunturkan senyumnya.

***

A/N

Ada payung hilang, maka kuberikan pada Gilang. Kemudian aku memergokimu tengah memandangku. Kau melihatku tertawa dan kau menatapku penuh penasaran.

Apa kau tak pernah melihatku tertawa sebelumnya?

Jika belum, berarti kau beruntung. Kau sudah melihatku tertawa. Selamat!

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang