SAJAK. Thania memandang layar ponselnya terperanjat. Tangannya gemetar ketika jemarinya menggulir timeline akun media sosialnya. Ia memaksa menelan ludahnya ke kerongkongan.
Kenapa? Apa maksudmu, Van? Aku enggak ngerti, pikir Thania frustrasi.
Entah kenapa perasaan ini menjalar di tubuh Thania. Dengan percaya dirinya Thania mendeklarasikan bahwa sajak yang Evan tulis ini untuknya. Akan tetapi, bisa saja sajak itu untuk orang lain. Bukan untuk gadis pemimpi seperti Thania.
Siapa kau yang berani masuk ke dalam kehidupanku tanpa alasan yang jelas seperti ini? Siapa kau yang terus mengusik ketenanganku setiap detiknya? Siapa, lagi-lagi siapa? Thania membatin lagi, tetapi justru ini malah terlihat seperti balasan sajak.
Balasan dari sajak yang baru saja Evan tulis. Thania benci situasi ini dan akan selalu membencinya. Ketika dirinya terjebak dalam rasa penasaran dan ketidaknyamanan yang ada dalam hatinya, Thania berusaha membebaskan diri.
Bel berdering nyaring, pertanda pelajaran telah usai. Thania mengembuskan napas lega. Hari ini akan segera berakhir dan tidak untuk bertemu Evan nanti. Thania memainkan ponselnya, menulis sajak di sana. Sajak yang tercipta langsung dari otaknya.
Aku tak paham
Dengan takdir yang terus mengikutiku
Kapan pun dan di mana pun aku berada
Kau masuk secara tiba-tiba
Membuka paksa pintu ini
Pintu yang menghubungkan satu ruang ke ruang yang lain
Pintu yang menghubungkan ke dunia luar
Pintu yang menghubungkan kitaAkan tetapi,
Sampai sekarang aku masih tak paham
Untuk alasan apa,
kau masuk ke dalam kehidupanku?
Untuk alasan apa pula,
kau mengusik ketenanganku?Aku tak butuh apa pun, kecuali jawaban
Jawaban langsung darimu
Aku tak butuh apa pun, kecuali jawaban
Jawaban terjujur darimuDengan napas berat, Thania mengambil napas tamak. Dengan napas berat, Thania memejamkan mata. Dengan napas berat, Thania mengambil keputusan. Dengan napas berat pula, Thania memublikasikan sajak itu.
***
Berdiri, membeku. Evan membatu dalam sekejap seolah ada penyihir jahat datang ke tempatnya alih-alih mengutuk laki-laki yang pandai bermain gitar itu. Baru saja Evan menggulir layar ponselnya, memantau isi timeline akun sosial medianya, dan bermaksud mencari sesuatu yang baru.
Akan tetapi, sesuatu yang baru itu bukanlah meme atau sebagainya. Sesuatu yang baru itu adalah sajak Thania. Ya, Thania yang itu. Thania yang baru saja ia tatap sewaktu perjalanan kemari. Gadis itu bisa bersajak dan agaknya ia menanggapi sajak Evan.
Thania membuat sajak? Ini dibajak? tanya Evan membatin. Dia ngerasa terganggu dengan kedatanganku?
Evan tak mengerti. Thania membalas sajaknya, yang memang ditujukan untuk sang gadis. Akan tetapi, yang Evan dapatkan bukan timbal balik atas perasaannya selama ini, melainkan sebuah pengungkapan kekesalan karena telah menjadi parasit dalam hidupnya.
"Bang Vanvan!" Reihan berteriak girang, menepuk pundak Evan tiba-tiba.
Yang ditepuki menyentakkan bahu, menoleh sadis ke Reihan yang dengan lancangnya mengagetkan Evan. "Apa lagi? Enggak bosen ngerecokin terus?"
"Enggak, sih sebenernya," celetuk Reihan. "Betewe, Van. Kamu kenapa dari tadi ngelamun sama murung mulu? Nemu setan lagi ya di IPA 7? Atau kena kutukannya Bu Rubi?"
"Enggak papa, cuma males aja ada di sini. Pengen pulang aslinya, cuma ya ... tetep aja ada kerjaan sampe sore di sini," balas Evan menyandarkan diri ke kursi kebangsaannya di kelas, tak ingin diajak bercanda. "Kenapa?"
"Van, sebagai teman yang baik hati sama kamu, aku menawarkan diri untuk menjadi pendengar yang baik," cerocos Reihan.
Evan mengernyit. "Pendengar apaan?"
Reihan memutar bola mata malas. Kadang otak pintar Evan butuh direparasi pakai alat ajaibnya Doraemon. "Van, pasti ada yang ngganggu pikiranmu. Coba cerita aja, deh. Kata Bu Riri, aku itu pawangmu loh."
Evan bergeming. Lagi-lagi mendebatkan hal itu. Batin dan otaknya beradu argumen. Dipejamkan matanya, mengenyahkan suara-suara yang mengganggu pikirannya. Setelah berhasil menghilangkan suara itu, Evan membuang napas agak panjang dan membuka mata.
Agaknya tak yakin, Evan menatap Reihan lemas. "Han, kamu pernah enggak dianggep?"
***
A/N
Aku diam dan membisu, memikirkan kejadian kemarin malam.
Setelah kupikir-pikir, ternyata kamu orangnya baperan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...