IDE, terkadang muncul tanpa diduga. Entah apa yang ia pikirkan, Thania tak pernah kehabisan ide. Ia memandang Evan, menyalang. Alih-alih terkesiap, Evan mundur teratur beberapa langkah. Jantung lelaki itu berdegup kencang seolah mirip drum yang ditabuh dengan tempo cepat.
"Masuk ke kamar mandi cewek," bisik Thania datar.
Evan mendelik. "Kamar mandi cewek?"
Thania memutar bola mata malas. Memberitahukan sesuatu ke Evan itu sama saja seperti mengajari momen torsi atau turunan trigonometri pada bayi yang baru lahir. "Iya, kamar mandi cewek."
"Gila! Enggak mau! Entar aku dikira yang macem-macem. Enggak, enggak." Evan menggeleng cepat, menolak mentah-mentah ide Thania yang super gila baginya.
Ya kali, Than. Kamar mandi cewek.
"Van, dengerin bentar. Di masjid ini cuma ada kita berdua dan enggak ada yang lain lagi," Thania menjelaskan dengan sabar, "kamu itu kan, cowok. Kalau kamu mau sembunyi di mana pun juga bakal ketahuan, lah! Kamar mandi cewek yang di belakang masjid itu aman tentram. Bu Depe atau Bu Riri juga enggak bakal nyangka kamu sembunyi di situ!"
Tapi, sama aja. Itu gila! Cantik-cantik kok miring sih, Than? batin Evan terkejut.
Evan bergeming agaknya memikirkan apa yang diucapkan Thania. Kalau dipikir-pikir, memang benar, sih. Kamar mandi perempuan di belakang masjid adalah satu-satunya tempat yang paling aman. Meskipun Bu Riri dan Bu Depe mencarinya di semua tempat, mereka tak mungkin mencari Evan di kamar mandi perempuan.
"Serius? Nanti kalo ketahuan gimana?" Evan benar-benar ragu.
"Kalo ketahuan, itu nasibmu yang kurang beruntung." Thania melipat kedua tangannya, menatap Evan yang masih dilingkupi keraguan.
Evan menhirup napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Oke, aku sembunyi sekarang."
Ia mengintip dari tempatnya berdiri, berjinjit. Alih-alih memastikan Bu Riri dan Bu Depe tidak memergokinya di depan masjid. Evan segera ngacir, memelesat ke arah tempat wudhu perempuan dan mungkin sekarang sudah bersembunyi di kamar mandi. Thania memandang ke arah di mana Evan pergi, menghela napas frustrasi.
"Thania?"
Gadis itu menoleh. Bu Riri dan Bu Depe sudah ada di hadapannya, memandang Thania penuh selidik. Wajah Thania menegang sesaat, kemudian dinormalkan kembali. "Iya, Bu. Ada apa ya?"
"Kamu lihat Evan?" tanya Bu Riri telak.
Thania mengerling ke kanan, berdeham agaknya juga memikirkan alasan yang bagus untuk berbohong. Sebenarnya, Thania tidak ingin terlibat masalah Evan dan repot-repot membohongi guru seperti ini. Akan tetapi, kalau ia tidak melakukan ini, Thania tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin saja, Evan bisa menerornya setiap hari dan Thania tidak menginginkan hal itu.
"Enggak, Bu. Dari tadi saya di sini dan masjidnya udah kosong," ucap Thania seraya tersenyum simpul.
Bu Riri memandang ke bawah, membungkuk alih-alih mengambil sesuatu di depan masjid. Thania terbelalak ketika sepatu milik Evan ditunjukkan persis di depan mata Thania. "Ini sepatu punya Evan, kan? Di mana anaknya?"
Thania menggeleng. "Saya tidak tahu, Bu. Saya juga enggak tahu kalau ada sepatu di situ."
Evan bodoh. Sangat bodoh. Ceroboh, gegabah.
"Than, Evan itu suka kabur pas pelajaran saya. Kali aja kamu lihat terus kamu bisa beritahu Bu Depe atau Bu Riri." Bu Depe pun mencurahkan isi hatinya.
"Bukan pelajaran Bu Depe saja. Hampir semua pelajaran dia suka kabur. Dihitung dari semester kemarin," timpal Bu Riri kalut. "Bingung sama anak didik sendiri. Ada aja masalah yang dibuatnya. Enggak kasihan sama saya, guru, sama temen-temennya dia."
"Serius, Bu. Saya enggak ngelihat Evan dari tadi. Malah enggak tahu kalo dia sempet ke sini. Bu, saya kurang begitu deket sama Evan jadi ya ... saya kurang tahu," jelas Thania kalem.
"Sebenernya saya juga kasihan sama Evan, sih. Temen-temennya itu pada curhat sama saya. Kebanyakan, terutama cewek-cewek, mereka enggak suka Evan, katanya Evan itu nyebelin. Macem-macem alesannya. Ada yang enggak suka kalo omongannya dipotong; enggak suka barang-barangnya diambilin; macem-macem." Setelah Bu Depe, sekarang malah giliran Bu Riri yang curhat.
Bakat jadi tempat curhat para guru kamu, Than.
"Kalo sama saya, dia kalem-kalem aja, Bu, tapi tetep aja nyebelin," celetuk Thania spontan.
Bu Depe menyeringai geli. "Karena, Evan suka sama kamu, Than. Makanya dia kalem terus nyebelinnya biar bisa deketin kamu."
Deg!
Jadi, yang aku pikirin itu bener?
***
A/N
Aku mungkin hanya seonggok upil di dunia ini. See you really soon at Youtopia!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...