BAB 6

3.5K 410 80
                                    

HOBI Evan di sekolah memang berdiri di balkon depan kelasnya sambil mengedarkan pandangannya seperti elang ke seluruh penjuru sekolah. Tak lupa headset yang selalu tertancap pada smartphone-nya, disumpalkan ke telinganya. Mendengarkan lagu-lagu dalam playlist-nya, mengalun lembut di telinganya sambil sesekali bersenandung kecil, menikmatinya.

Namun segala kenikmatan yang didapatkannya, langsung hilang begitu saja. Ketika seseorang berteriak di dekatnya.

"MILAAA ...! ANJIR! MILAAA ...!" teriak Thania menggelegar, berjalan ke arah kelas Mila.

Evan yang mendengar teriakan cetar Thania, otomatis terperanjat dan melongok ke sumber suara. Lagi-lagi, Evan mati kutu dan tamat kalimat. Berkali-kali juga Evan menanyakan pada dirinya sendiri seberapa banyak porsi makanan yang mampu cewek itu tampung dalam sehari sehingga bisa menghasilkan suara sebesar itu.

Mustahil, jika porsi makanannya segentong. Tubuhnya pasti sudah melar dan bergelambir, tidak kurus dan langsing seperti itu, tetapi bisa saja ia memang tidak bisa gendut. Sekali lagi, Evan memerhatikan Thania dari belakang.

Genter.

Satu hal yang bisa Evan deskripsikan. Cewek itu tinggi, bahkan bisa seukuran model Victoria Secret. Terkadang, Evan iri melihat orang-orang berperawakan tinggi berseliweran di sekitarnya. Evan juga pengin tinggi.

Tuh anak kayaknya makin tinggi aja dari jam ke jam. Kapan aku juga bisa tinggi kayak dia? batin Evan frustrasi.

Kamu itu siapa? Aku bener-bener penasaran sama kamu. Kamu sukses buat aku kepikiran terus.

Lagi-lagi, Evan mengeluarkan dramanya. Efek jadi anak teater mungkin malah jadi tukang drama. Evan kembali menatap lapangan upacara. Berusaha melupakan cewek itu sebentar, tetapi rasa penasaran yang mengalir di setiap aliran darahnya mengalahkan semuanya. Evan enggak bisa diginiin.

Pikiran Evan mengarah pada Thania. Lagi. Dia sering bergaul sama anak IPS ketimbang sama teman-teman kelasnya. Bahkan, dua teman sekelas Evan, Nira dan Tiara juga lumayan dekat dengannya. Kadang Evan merasa kalau Thania bukan anak IPA, melainkan anak IPS. Sama sepertinya.

Nah, sekarang Thania berjalan ke arahnya. Evan jaim dong, membuang muka, pura-pura enggak lihat Thania. Cewek itu melewatinya. Pandangannya lurus ke depan, langkah kakinya terkesan terburu-buru, dan satu hal lagi yang Evan rasakan bila dekat dengan Thania.

Kadang Evan merasa Thania enggak pernah menganggapnya ada.

Sakit memang. Dari dulu Evan pengin bisa dekat sama Thania, tetapi melihat reaksi Thania beberapa waktu lalu. Evan jadi ragu buat mendekati Thania. Jadilah Evan yang sekarang, cuma bisa memendam rasa dan memandang cewek itu dari jauh.

"Evaaaan ...! Dipanggil Bu Fadhila! Katanya, kamu disuruh ke ruangannya sekarang!" demikian teriakan Dinda, menggelegar kayak guntur di lautan lepas.

"Iyaaa ...!" Evan mengerang malas.

"Hayo loh, Evan. Kamu ngapain lagi sampe dipanggil Bu Fad? Bu Fadhila itu nyeremin kayak setan loh!" celetuk Ivan asal-asalan.

Evan menjitak Ivan lagi. "Hush! Sembarangan aja kalo bicara. Itu guru, jangan ngawur kamu."

Ivan mengelus-elus puncak kepalanya, menatap Evan. Eh, cowok itu sudah pergi. Ivan mendecak sebal, kadang ia harus menerima nasibnya. Berteman dengan siswa aktif di sekolah.

***

Hai, Evan. Aku baru saja menemukan sajak-sajak yang kautuliskan di status LINE-mu. Namun, kau berhasil membuatku kepedean. Kepedean yang terlalu besar dan terlalu banyak berharap.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang