BAB 25

1.2K 158 50
                                    

EMPUK. Sensasi dingin seprai menyambut kulit mulus Thania. Sudah lama setelah berjam-jam ia ingin menghamburkan diri ke kasur dan beristirahat. Hotel yang mereka jadikan tempat menginap pun di luar ekspektasi. Plot twist, kalau menurut Thania.

"Hotel paling bagus yang pernah aku kunjungi." Thania memejamkan mata, samar-samar tersenyum.

Sinta melonjak. Goncangan kecil dirasakan Thania dan Sinta mendesah lega. Lesung di pipi kanannya muncul begitu sebuah senyuman mengembang. "Ah, surga. Aku pengen lama-lama di sini. Kok kita nginep di sini semalem ya? Sedih."

"Ya iyalah, semalem. Dikata sekolah kita ini anak horang kaya semua. Ini harga kamar semalem aja tujuh ratus rebu. Bayang pun! Ini empat belas kali gajiku sebulan!" Nindi mengeluarkan baju-bajunya kesal. "Dah gitu ya, listrik sekolah aja suka mati. Kan, ketahuan kalo sekolah kita kere! Wi-Fi sekolah juga lemot. Kasihan anak yang enggak punya kuota macam saya."

Thania tersenyum masam, membuka mata, dan langsung disuguhi langit-langit kamar dimandikan cahaya lampu yang temaram. "Nin, tolong. Itu aib. Jangan dibongkar juga."

"Oh, iya!" pekik Tekse. "Sekarang pasti udah tayang. Remot TV mana remot TV?"

Tekse mengubrak-abrik sekaligus menendang semua koper di hadapannya. Gadis bertubuh mungil itu langsung melompat girang, menyalakan televisi, dan mencari saluran yang ia cari.

"KETEMU!" seru Tekse gembira.

Tekse melompat ke kasur, siap menonton televisi. Akan tetapi, suasana yang semula biasa saja mendadak berubah suram. Kalian ingin tahu apa yang ditonton Tekse?

"Ketika Tekse menguasai TV," Nindi berdecak kalut, "dan Mermaid in Love adalah tontonannya! Tidak! Aku hidup di zaman yang salah!"

"Tekse sudah tercemar," Thania menutupi wajahnya dengan bantal alih-alih tak ingin tercemar karena sinetron yang ditonton Tekse. "Tek, tidur aja, Tek. Capek, kan? Nanti bukan kamu yang nonton TV, tapi malah TV yang nonton kamu."

"Duh, pengen nonton. Ini lagi bagus-bagusnya." Tekse geregetan sendiri, direbutnya bantal yang hendak Nindi pakai, kemudian memeluknya erat. "Ini acara bermutu tahu. Coba nonton, deh. Dijamin kalian suka!"

Sinta bangkit dari posisinya. "Gila, anak cowok kelas kita!"

"Apanya yang gila? Kayaknya emang mereka gila dari sananya." Thania menggeliat mirip ulat bulu, lalu merayap mendekati Sinta yang kini memandangi layar ponselnya yang menyala.

Dua menit. Durasi yang lama untuk memamerkan kamar yang didapatkan delapan laki-laki itu. Family room dan terlihat ekspresi mereka yang terlihat ... bahagia? Tidak, itu bukan bahagia, melainkan ajang pamer. Termasuk Nurhan yang tiduran dalam bathup. Berlagak like a boss di grup kelas.

"Pengen pindah kamar jadinya," komentar Nindi, kemudian ia mengganti pandangannya, "tapi kalau pindah kamar juga sia-sia. Itu kamarnya 1,2 juta. Aing enggak punya uang sebanyak itu. Ah, andaikan aing seorang jutawan!"

"Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah," timpal Thania bernyanyi sendu alih-alih bingung harus melakukan apa.

"NIN!" Sinta tiba-tiba berteriak heboh, "MV EXO YANG FOR LIFE UDAH KELUAR, NIN!"

"HAH?! CIYUS?!" Nindi pun tak kalah heboh.

Sinta yang tadinya di sebelah Thania, terserempak melompat seperti kangguru ke ranjang Nindi. "CIYUS! AYO NONTON!"

"Tidak." Thania menggeleng lemas. Thania tidak suka boyband Korea, laki-laki Korea, dan semua yang berhubungan dengan Korea.

Ketika semua orang membicarakan Black Pink, Bangtan Sonyeondan, atau Twice sekalipun, Thania hanya bisa terdiam seperti orang idiot. Thania buta Korea. Bahkan yang lebih menyedihkannya lagi, setiap hari adik Thania selalu menyetelkan lagu punya Twice, membuat Thania gila dalam sekejap.

Di saat semua asyik sendiri, Thania lebih memilih duduk sambil menonton aktivitas yang dilakukan tiga teman sekamarnya. Tekse sedang tidak ingin diganggu, sedangkan Nindi dan Sinta? Haruskah Thania mengulang apa yang sedang mereka lakukan?

Sinta memergoki Thania yang mengawasinya dan Nindi sedari tadi. "Than, kamu kok kelihatan miris? Kayak enggak punya kegiatan lain aja. Kasihan banget."

"Bingung harus ngapain. Kalau ngikut Tekse, aku enggak suka sinetron dugong. Kalau ngikut kalian, tahu sendiri aku kayak gimana. Ya udah, aku ngelihatin aja," balas Thania acuh tak acuh sebenarnya agak tersinggung dengan perkataan Sinta. Akan tetapi, Thania jaga citranya, dong.

"Ya udah, Than. Selamat menontoni kami ya!" seru Sinta lalu kembali mengabaikan Thania.

Ini yang paling tidak kusukai darimu, batin Thania setengah dongkol. Terkadang aku merasa, kamu tidak tulus berteman denganku. Terkadang aku merasa, kamu hanya ingin aku kesepian. Terkadang aku merasa, kamu hanya ingin melihatku hancur. Apa salahku sampai-sampai kamu melakukan hal ini?

Thania mengenyahkan pikiran buruk itu, merebahkan diri dan mengamati Tekse yang masih asyik sendiri. Mungkin aku yang hiperbola. Mungkin aku yang terlalu parno. Mungkin saja.

Berbaring, perlahan Thania merasa lelah. Beban hidupnya berpindah ke kelopak mata. Agaknya setan-setan tengah berayun di sana. Hingga gelap menyambut Thania dan menyeretnya menuju dunia semu yang tak pernah mengkhianatinya.

Tidak seperti dunia, yang ingin menghancurkan Thania dengan segala rencana liciknya.

***

A/N

Teruntuk Sinta,

Mungkin aku memang salah menilaimu dan mungkin juga tidak. Akan tetapi, mengapa aku merasa demikian? Apakah aku yang terlalu paranoid karena kenangan masa lalu ataukah memang kau yang ingin aku terlihat hancur di depanmu?

Teruntuk Sinta,

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu mengenaiku. Akan tetapi, aku hanya tahu tiga hal tentangmu. Tiga hal mutlak yang tanpa sadar kautunjukkan kepadaku sejak awal.

Kau yang ambisius secara tak sehat.

Kau yang palsu penuh topeng.

Kau yang tak pernah memahami orang lain, tetapi ingin dipahami orang lain.

Teruntuk Sinta,

Belajarlah untuk memahami orang lain. Semua orang itu tidak sama sepertimu. Jangan bertindak seperti orang bodoh. Aku yang mungkin sebagai temanmu hanya bisa mengingatkan.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang