Just A Dream
Sam Tsui feat Christina Grimmie
***
EVAN berlari menyusuri koridor. Teriakan satpam yang kala itu pernah menghalanginya kembali ia abaikan. Orang-orang di sekitar menatapnya heran seolah yang mereka lihat adalah setan yang bermain di siang bolong.
Ruang bedah semakin dekat dan jantung Evan berdebar semakin kencang. Decitan sepatu yang bergesek di lantai keramik, mengiris ulu hatinya. Evan menghambur masuk, mengatur napas yang tersengal.
Hawa aneh menggelitik tengkuk Evan. Jantung Evan berdentam tak keruan. Kerumunan orang di hadapannya menangis histeris. Mendadak atmosfer tak diinginkan melingkupinya tanpa perintah. Wajah orang-orang itu, Evan mengenalinya. Itu keluarganya Thania.
Apakah semua baik-baik saja? Operasinya berjalan lancar, bukan?
Dengan langkah ragu, Evan mendekati Ayah Thania yang menitikkan air mata, menatap pria paruh baya itu sendu. "Om? Om, kenapa nangis? Om, semuanya baik-baik aja, kan? Operasi Thania sukses, kan? Iya, kan?"
"Kamu temennya Thania, kan?" Ayah Thania justru berbalik tanya, tanpa menghilangkan ekspresi kesedihan yang tercetak jelas di wajahnya. Evan semakin bingung.
Evan mengangguk.
"Thania sudah pergi, Nak," ucap pria itu penuh penekanan.
Bumi berhenti berotasi seketika. Evan tersentak. Wajahnya mendadak tegang seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar kali ini. Jantung Evan berhenti berdetak sejenak dan tubuhnya lemas tiba-tiba.
Ini pasti bohong. Thania enggak mungkin mati.
Evan tersenyum getir, berusaha menyangkal kenyataan yang menamparnya telak. Ia menggeleng cepat tanpa membalas tatapan Ayah Thania. "Mustahil. Thania enggak mungkin mati. Om, pasti bercanda, kan? Thania masih hidup. Dia sekarang ada di ruang pemulihan. Dia enggak mungkin mati."
"Tidak, saya tidak sedang bercanda. Thania benar-benar pergi." Satu tetes air mata turun membasahi pipi pria itu.
"Saya yakin Thania masih hidup, Om!"
"Thania sudah pergi!"
Evan bungkam seribu bahasa. Tidak, ini tidak mungkin. Evan sangat yakin gadis itu masih hidup. Thania tidak mungkin meninggalkannya secepat ini. Gadis itu sudah berjanji untuk tak pernah meninggalkannya. Evan yakin Thania pasti menepati janjinya itu.
Pintu ruang bedah terbuka, menampilkan perawat dan dokter berpakaian serba hijau keluar, mendorong sebuah ranjang. Evan berlari, mendekati ranjang yang kini tertutup sebuah kain. Dengan tangan bergetar, Evan membuka kain itu perlahan.
Jantung Evan hendak melompat dari tempatnya. Air mata lelaki itu mengalir deras. Tangisnya pecah seketika saat jenazah Thania berada di depan matanya.
Spontan, Evan memeluk Thania erat, menahan kristal yang hampir terjatuh dari tempatnya. Mata cokelat terang yang biasa Evan lihat setiap hari kini terpejam. Tangan Evan bergetar hebat, meraba pergelangan Thania yang dingin dan kaku, berusaha mencari denyut nadi di sana.
Nihil. Thania benar-benar sudah pergi.
"Kenapa kamu berbohong lagi?" tanya Evan histeris. "Kenapa kamu berbohong untuk enggak pernah ninggalin aku? Kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa, Than? Jawab, Than! Jawab!"
Ibu Thania tak kuasa menahan tangis dan melihat jasad putri sulungnya, menyandarkan diri di bahu suaminya.
Evan bangkit, menatap wajah Thania sekali lagi. Sebuah senyuman terpatri di sana, sangat indah. Evan terisak. Air matanya mengalir deras. "Kamu pasti sudah tenang di sana ya sampai akhir hayat pun kamu senyum. Kamu pasti sudah lega penderitaanmu berakhir."
Didekatinya tubuh kaku Thania, berbisik ke telinganya meskipun Evan tahu gadis itu tak akan pernah mendengarnya, "Aku beruntung bisa ketemu gadis tangguh kayak kamu, Than. Terima kasih sudah menguatkan aku yang ternyata lebih rapuh dari kamu. Terima kasih sudah mengajariku untuk tidak pernah membenci orang meskipun sering dijahati. Terima kasih untuk waktu yang pernah kita habiskan bersama walaupun singkat,
"Terima kasih, Thania. Aku sangat menyukaimu."
Evan menyeka air matanya dan segera berdiri. Ranjang Thania pun bergerak perlahan, menjauh dari Evan diikuti keluarga Thania yang masih menangis sesenggukan.
Di sini, Evan hanya bisa berdiri seolah kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah, menyusul Thania yang semakin jauh. Di sini, Evan hanya bisa mengucapkan salam perpisahan dalam doa.
***
A/N
Mungkin ini yang bisa kupersembahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...