BAB 5

4K 458 40
                                    

THANIA masih melamun, tetapi langkahnya belum berhenti. Orang-orang berlalu melewatinya. Namun, Thania tak peduli. Biarkan mereka mengurusi urusan mereka sendiri. Tak ia pedulikan juga jika khalayak menubruknya. Toh, ia tak memikirkannya.

Evan menatapnya kembali, sangat lekat. Ingatan soal Evan yang memandanginya masih jelas di dalam kepala cewek berkacamata tersebut.

Cowok itu tengah tidur di atas paha kawannya, yang tidak Thania kenal. Ia menatapnya, walau tanpa ekspresi. Thania enggak tahu harus bagaimana. Dia bingung harus berbunga-bunga, kesal, atau sedih.

Satu hal yang pasti. Hati Thania masih tertambat pada satu nama. Satu nama yang hanya Thania kenal. Padma.

Padma adalah teman sekelas Thania waktu masih SMP. Awalnya, Padma cuma buat bahan move on Thania dari kakak kelasnya, Fariz. Namun, ternyata Thania terlanjur suka sama Padma. Entah ini keberuntungan atau bukan, Padma juga suka sama Thania, tetapi cowok itu tak berani mengungkapkan perasaannya.

Kembali ke cerita.

Thania menyambar bangkunya, menempelkan bokongnya di sana. Dirogohnya saku pada rok abu-abunya, mengambil smartphone-nya. Notifnya jebol. Penuh dengan notif OA. Thania butuh keramaian.

Dagunya menempel di meja kelasnya, mata elangnya yang bersembunyi di balik kaca yang terpasang pada bingkai berwarna hitam, mengarah keluar, menatap pohon-pohon yang saling berbisik satu sama lain. Menimbulkan suara gemerisik.

Thania lemas.

Telinganya memberontak. Tak ingin nyanyian fals Nurhan merusak gendang telinganya. Kalau kata Isna sih, nyanyian Nurhan bisa merusak hak cipta dari lagu yang ia nyanyikan. Nurhan masih terus bersenandung. Memaksa suara bass-nya agar bisa mencapai nada tinggi, tetapi berakhir cempreng.

Awalnya, Thania membenci Nurhan yang menurutnya sombong. Namun, kebencian Thania enggak sia-sia. Karena Nurhan memang "sombong". Mengaku dirinya sebagai cogan seantero sekolah.

Tidak.

Mendengarnya saja, Thania ingin muntah.

"Iya, sih. Pengennya punya temen yang gila," gumam Thania pada dirinya sendiri, "tapi ya, enggak gini juga kali."

Deg!

Lagi-lagi. Hal yang ditakuti Thania terulang kembali. Evan datang, mengintip kelasnya, menemukannya, terkunci beberapa saat, lalu berlalu menuju ke kelasnya. Thania menelan ludah kecutnya.

Lagi-lagi, ia mulai canggung. Lagi-lagi, Evan membunuhnya telak.

***

"Ngapain ngintip ke kelas IPA, Van?" tanya Reihan, teman sekelas Evan. "Pengen jadi anak IPA?"

Mendengarnya saja, Evan bergidik ngeri. Menggeleng kepalanya kuat, seolah keputusannya sudah tidak bisa diganggu gugat. "Enggak," tegas Evan. "Aku enggak mau ketemu logaritma, trigonometri, fisika, kimia, sama biologi. Mereka mematikan."

Mendengar hal itu, Ivan menaikkan satu alisnya, heran. "Lah? Terus ngapain ngintipin kelas IPA?"

Evan gagap, mencari alasan. Matanya berputar, jemarinya dimainkan hingga sebuah bohlam muncul di atas kepalanya. "Cuma membuktikan apa yang Bu Bambang pernah katakan," akhirnya Evan bisa ngeles juga.

Ivan dan Reihan pun mematung, diam di tempat, membiarkan Evan berjarak beberapa langkah di depan mereka. Dua cowok itu lantas menyusul Evan ke bangkunya, menarik kursi dan duduk di atasnya.

"Bu Bambang pernah bilang apaan soal anak IPA?" cerocos Ivan penasaran.

"Emang kelas IPA 7 ada penunggunya ya?" Reihan asal ceplos, tetapi berakhir dengan ditabok Ivan. Yang kena tabok pun mengaduh, mengerang kesakitan dengan keras, sampai-sampai seluruh anak kelas Evan menoleh ke arah mereka, polos.

Evan melempar senyum palsu, alih-alih menjewer telinga kedua teman senasibnya. "Kampret! Kalian berdua bisa enggak yang elegan dikit gitu? Minimal enggak heboh sama enggak malu-maluin?" tanya Evan geram.

"I-iya, Van. I-iya," jawab Ivan meminta ampun.

"Janji, deh, Van. Janji," Reihan pun berjanji, "enggak bikin kamu malu, deh."

Evan melepaskan jewerannya, beranjak dari bangkunya, berjalan santai keluar kelasnya. Ivan dan Reihan cengo. Evan meninggalkan mereka berdua, sendirian, mirip pasangan gay.

"Woi, Van!" celetuk Ivan, membuat corong di sekitar mulutnya dari kedua tangannya. "Van, Bu Bambang bilang apaan emang di kelas IPA 7?"

Evan menghentikan langkahnya, menoleh malas, tanpa minat. "Ada Mak Lampir yang naksir sama dua cowok, yang satunya heboh; yang satunya lagi cerewet," jawab Evan super duper santai. "Well, it means ... you. Both of you."

Sekali lagi, dua teman senasib Evan bengong. Membiarkan Evan menghilang di balik pintu kelas, menikmati angin siang di balkon depan kelasnya. Sendirian.

Siapa nama cewek itu? untuk yang kesekian kalinya, batin Evan bertanya dengan pertanyaan yang sama. Tertahan sejak kelas X.

***

A/N

Hai, Evan. Aku mendapatimu, memandangku dari busmu.

Hai, Evan. Kamu sok enggak peduli jika kita bertemu saat kita membawa teman-teman kita.

Hai, Evan. Aku enggak berharap apa pun darimu. Tolong jangan salah paham.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang