BU Depe kebingungan. Satu kelas pun kebingungan, mencari sosok yang tak kunjung muncul setelah upacara. Beliau cemas. Acapkali ia mondar-mandir seraya menggigit bibir. Dipandangnya balkon atas, menanti Reihan dan Abdul keluar dari kelas.
Nah, Reihan sudah menampakkan diri. Akan tetapi, entah kenapa sorot matanya mengatakan hal lain. Hal yang tak pernah sama dengan jalan pikiran Bu Depe.
"Evan enggak ada di kelas, Bu," lapor Reihan sedikit berteriak.
Bu Depe mengaduh, menepuk dahi agak frustrasi. Evan, anak itu tiba-tiba menghilang. Dia tidak ada di kelas ataupun di kamar mandi. Lantas, ke manakah ia pergi? Bu Depe tidak terlalu tahu.
"Aduh, itu anaknya ke mana lagi?" Bu Depe mengusap tengkuknya pelan.
"Kenapa, Bu Depe?" Bu Riri, sang wali kelas, muncul dari ruang guru dan memergoki kebingungan Bu Depe.
"Ini, Bu," Bu Depe memulai laporannya, "Evan. Dia enggak ada di mana-mana. Udah dicari di kelas sama Reihan enggak ada. Di kamar mandi juga enggak ada. Bingung saya, Bu. Nanti kalo dia kenapa-kenapa gimana?"
Bu Riri menghela napas. Ini sudah yang kelima kalinya Evan kabur dari pelajaran. Tidak ada tanda-tanda anak itu menghilang. Bahkan kalau Evan menghilang pun, semua anak kelasnya pun tidak ada yang tahu. Termasuk Ivan dan Reihan sekalipun.
"Han, kamu kan, pawangnya si Evan. Dia kan, nurut banget kalo sama kamu. Kamu tahu Evan minggat ke mana?" Bu Riri pun bertanya langsung pada sohib Evan, Reihan.
"Enggak tahu, Bu. Tadi aku sempet lihat di kelas habis itu udah ngilang. Dia enggak pamit mau pergi ke mana," jelas Reihan jujur.
Bu Riri mengaduh lagi. Frustrasi, Bu Riri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bocah satu itu ke mana lagi? Bikin pusing. Entar kalo dia ketemu, marahin aja, Bu. Anak bandel kayak Evan itu emang pantesnya dimarahin. Dia enggak mungkin kabur ke luar sekolah, Bu. Gerbang depan sama gerbang parkiran dikunci soalnya."
Reihan menelan ludah, paksa. Terserempak rasanya berubah kecut. Tak seperti biasanya. Ia mencemaskan keberadaan Evan. Nasib Evan kini berada di ujung tanduk. Van, kamu ke mana to?
***
Sujud yang terakhir ia lamakan, lalu bangkit melakukan tahiyat akhir. Mulutnya tak henti-henti membaca bacaan itu. Evan menoleh ke kanan dan ke kiri, mengucapkan salam dan mengusap wajahnya dengan penuh rasa syukur.
Bacaan doa shalat dhuha pun ia ucapkan, kemudian dilanjut dengan permintaan yang sangat diinginkannya. Kabur dari pelajaran dan berdiam diri di masjid, mungkin itu pilihan terbaik bagi Evan. Tidak akan ada yang mengganggunya selama ia di masjid. Bahkan guru-guru pun tidak akan mengetahui keberadaannya saat ini.
Separuh pikiran Evan mengarah pada Thania. Ya, gadis itu. Selama di UKS, Evan kerap memergoki Thania memijat perut kanan bawahnya. Nama penyakit Thania terus menghantui pikiran Evan dan Evan berusaha mengenyahkan pikiran negatif soal penyakit Thania.
Semoga Thania bisa sembuh, Ya Allah.
Evan selesai berdoa, duduk bersila. Dipandangnya lantai ubin masjid sekolahnya. Mengkilap dan bersih. Bahkan Evan bisa melihat pantulan refleksinya dari sana. Tidak ada senyum terukir di wajahnya. Evan benar-benar suram.
Tangannya menutupi wajah. Evan benar-benar lelah dengan semua yang dihadapinya hari ini. Ia berniat untuk melupakan semuanya. Ya, semuanya yang telah terjadi hari ini.
"Oh, jadi kamu di sini? Bu Depe sama Bu Riri nyariin kamu di lapangan upacara. Bu Depe panik gitu. Kenapa kamu ke sini?"
Evan menoleh, kaget. Sosok yang tak pernah ia duga ada di hadapannya.
***
A/N
Ya, kala itu hampir semua guru panik mencarimu. Namun, tak berlangsung lama kamu pun ditemukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Ficção AdolescenteKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...