BAB 52

988 111 11
                                    

DENGKURAN halus Nindi terdengar samar. Gadis itu terlelap di atas sofa panjang yang disediakan setiap kamar di bangsal ini. Lain halnya dengan Thania. Justru di waktu nyaris mendekati tengah malam begini, matanya terus terjaga tak menunjukkan tanda-tanda kantuk sekalipun.

Suara bising televisi merebak. Cairan infus terus menetes setiap detiknya. Acapkali Thania melirik, memastikan ia tak kehabisan infus atau darahnya bakal naik ke selang lalu ke tempat infusnya.

"Belum tidur, Than?" suara laki-laki setengah sadar merambat ke gendang telinga Thania, terperanjat sedikit.

Evan, rupanya ia belum tidur padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dengan kaos hijau kepunyaan anggota ekskul tonti dan celana abu-abu SMA, Evan bersandar di sofa panjang, menatap Thania setengah mengantuk.

Thania menggeleng pelan. "Belum, aku enggak bisa tidur. Kena insomnia kayaknya."

"Kamu mikirin sesuatu?" Evan menelisik mata Thania yang masih menyala.

"Enggak," jawab Thania singkat, padat, dan jelas.

"Aku tahu kamu pasti mikirin sesuatu," desak Evan.

Thania menghela napas berat, mengangkat kedua tangannya seperti pencuri yang tertangkap basah. "Oke, aku nyerah. Aku enggak mau tidur biar besok jam lima aku belum bangun terus susternya enggak ngambilin darahku."

Evan mengerutkan dahi. "Kok gitu?"

"Aku enggak suka mereka ngambil darahku seenak jidat. Sekali tusuk, darahnya enggak keluar. Bahkan mereka nyampe mau nusuk di telapak tangan. Ya, aku enggak mau." Thania bercerita seolah ia membacakan dongeng buat Evan.

Namun, bukan rasa simpati yang didapatkan Thania, melainkan gelak tawa dari Evan. Thania menaikkan satu alisnya curiga. Siapa tahu Evan dalang di balik pengambilan darahnya. Siapa tahu Evan bekerja sama dengan para suster sialan itu. Siapa tahu.

"Kok ketawa?" Thania memberengutkan bibir.

"Kamu lucu. Masa diambil darahnya takut?" Evan tak kuasa menghentikan tawanya.

Thania mendecak sebal. "Susternya yang ngeselin. Main tusuk sana, tusuk sini seenak jidat. Dipikir enggak sakit apa?"

"Sakit, sih," Evan akhirnya berkomentar, "tapi kamu juga harus tidur, Than. Kamu kan, lagi sakit. Harus banyak istirahat."

"Kamu sendiri kenapa enggak tidur?" Thania berbalik menanyai Evan, menatapnya heran.

"Enggak bisa tidur," jawab Evan gampang seperti menjawab pertanyaan matematika anak SD.

Thania menyipitkan mata, mengirimi Evan tatapan paling tajam yang pernah lelaki itu dapatkan. "Besok kamu sekolah. Tidur, gih. Aku enggak mau dapet laporan dari Nindi kalo kamu tidur di kelas. Kamu juga harus banyak istirahat."

"Mungkin tidur adalah salah satu cara otakku beristirahat, berangan, menciptakan dunianya sendiri yang dia inginkan. Untuk mendapat kepuasan dari hati untuk kehidupan yang keras dan cadas." Evan tersenyum menatap lelangit disinari lampu yang temaram.

Thania mendecak sebal lagi, membuang muka malas. "Mulai lagi dramanya. Emang semua anak teater kayak kamu ya? Melankolis kayak yang di sinetron-sinetron gitu?"

"Enggak semuanya, sih, tapi teater itu seru. Kapan-kapan kamu harus main sama anak-anak teater." Evan menyarankan seraya menyeringai puas. "Cuma kayaknya kamu udah kenal beberapa ya? Kayak Firda yang big size gitu?"

"Enggak usah ditanya kalo dia." Thania menggeleng kalut. "Itu temen satu kelasku waktu SMP."

Thania menguap saat itu juga. Gadis itu mulai letih dengan pembicaraan yang tak tahu kapan berakhir. Ia menggeliat, mencari posisi nyaman untuk tidur. Matanya sudah seperti lampu lima watt, mengantuk parah. "Van, aku tidur duluan ya? Selamat malam."

"Selamat malam," balas Evan lirih.

***

A/N

Aku menuliskan salah satu dari kalimat yang kautuliskan dalam statusmu di LINE.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang