SUARA merdu Christina sukses membuat batin Evan tenang. Sejauh kakinya melangkah, lagu Just A Dream yang Krishna rekomendasikan untuknya berhasil memikat hati Evan. Harus Evan akui kalau selera musik Krishna memang bagus. Untuk hari ini, Evan sudah mendengarkan lagu itu sebanyak hampir lima puluh kali.
Takjub dengan wahana yang disuguhkan dan dua tangan yang terus-menerus ia jejalkan di saku celana, Evan menikmati liburan akhir tahunnya. Ivan dan Reihan heboh di setiap sisi Museum Angkut, berbeda dengan Evan yang masih stay cool.
"Bopung. Bopung," suara Evan mendadak keras dikarenakan earphone yang tercantel di kedua telinganya. Lelaki bertubuh kecil itu bahkan tak sadar kalau dia sendiri juga bopung alias bocah kampung. "Kalian ini enggak malu apa? Dilihatin banyak orang?"
"Aduh, Bang Vanvan. Mirror please? Situ juga malu-maluin! Ngapain pake acara teriak-teriak sekeras toa di sini?" balas Ivan tak kalah keras.
Dahi Evan tertekuk, matanya menyipit. Didekatkannya telinga kanan yang tersumpal earphone putih setianya itu, mengisyaratkan Ivan untuk mengulang perkataannya. "Apa, Van? Kamu minta kawin? Sama siapa?"
Ivan memijat kening, sedangkan Reihan cuma bisa geleng-geleng kepala persis orang yang ada di dunia gemerlap. Begini. Begini kalau misalnya Evan sudah bercumbu sama earphone. Mendadak suaranya mirip toa masjid sama budeg.
Gemas, Ivan mencopot benda yang menyumbat gendang telinga Evan, mendekatkan mulutnya ke telinga lelaki yang acapkali berpenampilan modis. "Enggak usah teriak-teriak! Situ juga malu-maluin!"
Kesakitan. Suara Ivan memang mantap jiwa raga. Kalau diibaratkan, suara Ivan persis guntur yang menggelegar hebat dalam badai di lautan. Keras, lantang, dan mantap. Evan mengusap-usap telinganya malang, meringis.
"Sakit, Van! Enggak ada yang jualan telinga di sini!" seru Evan agaknya membentak teman seperjuangannya.
"Nah, udah tahu enggak ada yang jualan telinga. Masih aja kamu pake ini." Ivan mengangkat-angkat earphone Evan, menahan emosinya yang sebenarnya meletup mirip gunung meletus. "Nanti kalau telingamu pecah, enggak ada yang jualan lagi loh! Kamu nanti jadi tuli."
Evan mendecak sebal, merebut kembali benda kesayangannya dari tangan Ivan, dan memasukkan benda itu ke saku celananya. "Iya, Ustad. Iya, saya khilaf. Saya tobat. Tobatnya tobat nasuhah."
Ivan nyengir kuda, puas rencananya berhasil. "Ayo, lanjut jalan-jalan keliling sampe mabuk kepayang!"
Reihan bersorak heboh, sementara Evan bungkam. Ivan sudah berjalan beberapa meter di depan, sedangkan Reihan memilih untuk menemani sohibnya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Yang ada hanyalah keramaian. Keramaian yang sunyi bagi Evan.
"Mukamu suram amat, Van," Reihan membuyarkan keheningan di antara mereka. "Kepikiran sama perkataannya Ivan ya? Emang bener sih, jangan kebanyakan pake earphone kalau eman-eman sama telinga. Toh, enggak ada yang jualan telinga juga. But, Van. Enggak usah dipikirin juga. Oke?"
"Sok Inggris," Evan cekikikan. "Enggak, ini bukan soal Ivan kok. Emang dia bener, jangan keseringan pake earphone. Ibuku juga sering ngomel-ngomel kalau aku pake itu. Akunya yang bandel, sih."
"Terus, kenapa mukamu suram gitu?" tanya Reihan penasaran.
Belum sempat Evan menjawab, seseorang mengalihkan perhatiannya sampai-sampai ia lupa pada pertanyaan Reihan. Nata, Nindi, dan tentu saja Thania. Mereka melawan arus. Itu yang membuat Evan bertanya-tanya.
Lah? Pintu keluar bukannya ke sana? Ini malah balik ke pintu masuk, batin Evan tak paham. Eh, bentar. Than, baju kita samaan?
Reihan yang menyadari gerak-gerik Evan langsung turut menoleh ke objek yang Evan amati. Tiga perempuan dari kelas sebelah. "Itu si Nata ngapain balik lagi ke sana?"
Tidak ada jawaban. Karena, Evan juga menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri.
"Van? Evan?" Reihan mengguncangkan tubuh temannya yang melamun. "Evan? Van? Evan?"
Nihil. Evan tak merespon dan sekarang Reihan merinding. Kalau cara ini enggak berhasil, berarti harus pake senjata rahasia.
Netra Reihan melirik, sikunya sudah siap melaksanakan perintah dari sang otak. Satu, dua, dan tiga. Siku Reihan menerjang lengan atas Evan. Kontan yang disikut mengaduh kesakitan. Kalian harus tahu kalau sikutan Reihan ini sangatlah luar biasa. Luar biasa sakit maksudnya.
"Yang halus dikit ngapa?" protes Evan.
"Udah halus, tapi kamu enggak nyahut," Reihan berkilah. "Kamu ngelihatin tiga cewek tadi ya? Ngelihatin siapa? Nata?"
"Idih, enggak. Enggak ngelihatin siapa-siapa." Evan bergidik alih-alih menyembunyikan rahasia terbesarnya mengenai seorang gadis. Rahasia yang hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu. Oh, jangan lupakan orang yang sudah membuat mulut Evan jadi ember.
"Van, enggak usah pura-pura. Kamu ngelihatin Nata," tukas Reihan telak.
"Ngeyel ya? Aku enggak ngelihatin siapa-siapa kok."
"Mulut mungkin bisa berkata bohong, tapi tidak dengan mata. Mata tidak bisa menipu. Caramu menatap sesuatu, mengatakan segalanya."
"Aku khawatir pada satu orang. Di antara dua temannya Nata."
***
A/N
Iya, aku melihatmu ketika aku berbalik arah, melawan arus. Tidak ada yang melawan, bahkan Tuhan sekalipun. Kukira kamu sudah di depan sana, tetapi ternyata kamu justru ada di belakang.
Kemudian, Tuhan memberi pertemuan singkat. Hanya beberapa detik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...