"HAN, kamu pernah enggak dianggep?"
Reihan bergeming, menatap Evan sebentar, kemudian terbahak. Melihat yang dilakukan temannya, Evan kebingungan. Ia sadar, ia tidak mengeluarkan lelucon apa pun untuk Reihan. Akan tetapi, kenapa Reihan tertawa?
"Oh, jadi Pak Wakil Ketua lagi jatuh cinta ya?" tanya Reihan sedikit menggoda alih-alih penuh selidik.
Evan menggaruk kepala yang tak gatal. "Aku enggak tahu sama perasaanku sendiri, Han. Agak susah dijelasinnya. Kenapa dunia ini begitu rumit?"
Reihan berdecak, menggelengkan kepalanya kalut. "Dasar melankolis. Biasanya anak teater itu melankolis. Sekarang aku nanya, cewek yang kamu sukai itu siapa?"
Jantung Evan berdebar liar. Setelah tak sengaja keceplosan menyebutkan nama ke Krishna, ia tak mau Reihan mengetahuinya. Reihan, ya lelaki itu memang bukan ember bocor. Akan tetapi, Evan terlalu ragu untuk mengatakannya.
"Pokoknya ada, Han. Aku enggak mau bahas kayak gituan lagi," sahut Evan ogah-ogahan agaknya mengganti topik pembicaraan.
"Aneh ya, manusia itu? Kadang kebanyakan baper. Kadang kebanyakan melankolis. Kadang juga kebanyakan drama. Van, aku curiga sebenernya kamu di rumah sukanya nonton sinetron," sindir Reihan pedas.
"Han, temenku yang dari Amerika udah bilang kayak gitu. Kamu enggak usah nambah-nambah," Evan beranjak dari kursinya, sementara Reihan menengadah. "See you really soon, amigo!"
Evan melangkah cepat ke luar dari kelasnya yang pengap. Reihan membatu alih-alih terkejut dengan apa yang dikatakan Evan. Lelaki itu memang sedikit misterius. Ia tak ingin masalah pribadinya diketahui banyak orang.
Reihan menduga, ada sesuatu yang disembunyikan.
***
Udara segar dan ketenangan. Dua hal yang dicari Evan sedari tadi. Di balkon, angin berembus sepoi-sepoi, menerpa wajah dan rambut hitamnya yang agak panjang. Orang-orang di sekitarnya selalu mengatakan, "Rambutmu panjang, tapi tetep bagus."
"Kok lama-lama rambutnya mirip Jefri Nichol ya?" seseorang berkata demikian, kontan membuat Evan menyapu pandangannya.
Di antara khalayak di balkon ini, Thania dan Mila berdiri, melakukan hal yang sama sepertinya. Akan tetapi, bedanya Thania sedang bercengkrama. Tidak seperti dirinya yang butuh ketenangan dan udara segar, hanya untuk melupakan sajak dari Thania.
Thania, mungkin kamu berpikir kalau aku adalah parasit. Akan tetapi, aku bukanlah parasit. Jangan salah menilaiku, batinnya dalam hati.
Ia merogoh ponselnya dan menatap layar hitam dari benda itu. Refleksi wajahnya terpantul jelas, hingga membuatnya menatap layar itu lebih lama.
Rambut hitam agak panjangnya masih di sana dan belum ia potong sama sekali. Rambut yang katanya mirip seseorang bernama Jefri Nichol. Dua mata cokelatnya masih di sana, tidak besar maupun kecil.
Hidungnya pun demikian dan bahkan bentuk bibirnya yang terbilang tipis. Wajah Evan kelabu, murung. Kala detik itu ia masih memikirkan sajak dari Thania.
Entah kenapa memori menghanyutkan Evan. Masuk ke salah satu lubang kenangan masa lalu.
***
Kala itu ia masih kelas X. Kelasnya belum seperti sekarang. Di depan kelas, dipenuhi tumbuhan dan kolam ikan. Tentu saja demikian, lorong kelas X mengitari taman sekolah. Jujur saja, Evan menyukai tempat itu.
Asri, damai, dan tenang.
Ia berada di kelas waktu itu, berjalan mengelilingi kelasnya. Dalam keramaian yang tak berarti. Akan tetapi, Evan berusaha mengabaikan keramaian yang tak ingin didengarnya.
Mata cokelatnya mengambali jendela, memergoki Thania dan tiga temannya sedang duduk di tengah taman. Nekat, satu kata yang keluar dari otaknya.
Kalau Bu Mar sampai tahu, bisa jadi bakso goreng mereka atau mungkin Bu Mar bakal bilang, "Itu rumput sepuluh juta saya!", pikir Evan, tetapi ia masih sibuk mengintip.
Kala itu juga, ia melihat Thania tertawa. Senyumnya merekah. Cantik, lagi-lagi satu kata muncul dalam benaknya. Evan semakin senang mengintipi Thania di balik jendela buram kelasnya.
Hai, Tuan Rumput.
Terima kasih.
Apa? Dia mendudukimu?
Maaf kalau dia sekasar itu padamu. Bukan maksudnya seperti itu, tapi hal itu membuatnya nyaman akan kehadiranmu. Tolong buat ia nyaman terus, tolong jaga ia terus di sisimu, Tuan Rumput.
Setidaknya sekarang ia nyaman di sisimu, aku belum bisa menyuruhnya beranjak ke kursi di sana. Tolong jaga dia sebelum ia beranjak ke yang lain, sekali lagi maaf dan terima kasih.
***
Evan tersentak dari masa lalunya. Soal dirinya, Thania, dan ... rumput sepuluh juta Bu Mar.
***
A/N
Paragraf yang dicetak miring, ditulis oleh E dan diizinkan langsung oleh sang penulis paragraf dengan sedikit sentuhan kecil dariku.
Kuharap kalian menyukai tulisan-tulisannya, seperti aku yang sudah sukses dibuat gedhe rasa olehnya. Berikan komentar untuk sajaknya, tulisannya, dan cerita ini. Beberapa chapter akan ada selipan karya darinya.
Selesai dalam waktu satu hari wuhuuuu...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
أدب المراهقينKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...