MERAH. Satu hal yang Thania tahu. Pipinya memerah persis seperti kepiting rebus. Di kelas, ia melamun. Teriakan-teriakan Isna, Thania abaikan. Jeritan-jeritan fangirl juga Thania buang jauh ke luar angkasa—lebih tepatnya di luar galaksi, terutama ketika lagu K-Pop didendangkan.
Kenapa dia menatapku seperti itu? Sebenarnya, ada apa dengan dia? pikir Thania dalam hati.
Lantas, gadis itu menaruh kepalanya di atas meja, menciuminya. Gelap menyambut pengelihatan Thania, berusaha mengenyahkan kejadian tadi. Otaknya menduga, bahwa Evan hanya ingin main-main saja dengannya. Akan tetapi, hatinya berkata lain.
Orang-orang bilang, jangan pernah dibodohi oleh hatimu. Ya, Thania akan melakukannya dan berusaha sebaik mungkin percaya pada otaknya bukan hatinya.
Akan tetapi, semakin Thania ingin melupakan kejadian itu semakin kuat ingatannya soal bagaimana cara Evan menatapnya. Tidak! Thania mendadak gila! Lebih gila dari biasanya!
"Kata orang, hidup cuma ada sekali. Aku hanya ingin hidupku tenang, karena belum tentu aku diberi kesempatan untuk hidup lagi besok. Kenapa kamu selalu bertingkah aneh? Aku tidak bisa menebak apa maksudmu," keluh Thania setengah berbisik. Kepalanya bergerak, memandang jendela yang diisi pemandangan ranting, dedaunan, dan langit.
Angin bersemilir menerpa daun-daun hijau lembut, selembut belaian seorang ibu pada anaknya. Thania melanjutkan gumamannya, "Jika ada sesuatu yang ingin kaukatakan, maka katakan saja. Aku akan mendengarkannya dan mencoba untuk memahamimu."
Tangan Thania meraba saku roknya, merogoh ponsel yang tersimpan di sana. Dibukanya aplikasi LINE dan menggulir layarnya, mencari nama seseorang. Pencarian Thania terhenti, ketika nama orang itu sudah ia temukan. Evan, Thania menemukannya. Nama itu sudah bersemayam lama di dalam akun LINE Thania—sejak kelas X.
Bukan, bukan karena Thania menyukai Evan. Akan tetapi, Thania hanya asal menambahkan teman saja dari grup angkatan saat itu.
Dibukanya laman percakapan yang kosong itu, mengetik setiap kata yang keluar dari otaknya.
Evan?
Thania membaca ulang kata itu, kemudian menghapusnya. Tak berlangsung lama, Thania mengetik lagi.
Evan, aku ingin bicara denganmu.
Thania berdecak, menghapusnya lagi dan mengurung niatnya untuk memulai percakapannya dengan Evan. Gadis itu lebih memilih memendam keinginannya daripada menurutinya. Tidak etis rasanya jika seorang gadis memulai percakapan yang tidak bermutu, batin Thania.
Kini sesak di dada Thania pun bertambah, lebih sakit dari sebelumnya.
***
Di sisi lain, di waktu yang sama. Evan melamun di bangkunya, menaruh kepalanya di atas meja, dan memandang ke pintu yang terbuka. Pipi lelaki itu sudah mirip tomat, tak bisa ia sembunyikan. Evan malu, sangat malu. Kenapa bisa ia melakukan hal itu?
Kok aku bodoh ya? Thania ada di depan mata, harusnya aku ngomong sesuatu ke dia. Harusnya aku ngajak kenalan dan sebagainya, itung-itung pendekatan. Akan tetapi, kenapa tiba-tiba aku jadi bisu gini? rutuk Evan dalam hati. Detik setelahnya, ia mengerang.
Ia menyambar ponselnya, membuka aplikasi LINE, dan menggulir layarnya alih-alih mencari nama. Kanjeng Ratu Thania, nama itu masih belum diganti. Evan membuka ruang percakapan yang kosong, mengetik di sana.
Thania?
Evan mengerutkan dahinya, menghapus isi pesannya lalu mengetik lagi dengan kalimat yang dirasa pas untuk dikirimkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...