"VAN, gimana kalo besok aku enggak selamat?"
Pertanyaan Thania menusuk Evan telak bak hujan es runcing yang menerjangnya tiada henti. Di sini, di rumah sakit ini. Ketika hening menjadi saksi, bahkan dinding pun bisa mendengar apa yang Thania ucapkan. Evan bergeming. Ia tidak ingin Thania pergi, pergi jauh darinya. Ia tidak ingin begitu. Evan ingin Thania cepat sembuh.
"Kamu ngomong apaan, Than? Jangan ngomong sembarangan, ah! Enggak lucu," suara Evan bergetar. Ada rasa khawatir di dalam sana, tersembunyi di balik nada yang meninggi.
"Van, kamu enggak denger apa yang diomongin dokter tadi?" Thania tersenyum getir. "Dokter bilang, trombositku fluktuatif. Terlalu riskan buat operasi, sementara di sisi lain appendic-ku udah parah. Kamu juga tahu sendiri, kan? Ini udah seminggu lebih nyaris dua minggu dan enggak ada perkembangan sama sekali."
Evan menatap Thania intens, bahkan ini tatapan terintens yang pernah Thania dapatkan. "Dan kalau dokter bilang gitu, bukan berarti kamu enggak bisa sembuh, kan, Than?"
Thania bungkam, menatap lekat Evan. Bahkan saking heningnya, gadis itu bisa mendengar suara napas kasar darinya maupun Evan. Semburat senja berebut masuk dan temperatur bangsal Thania mendadak dingin. Bunyi tetesan halus dari infus samar-samar terdengar, menemani keheningan.
Thania membuang muka, memutuskan kontak, dan menatap ranjang di sebelahnya yang kosong. "Pulanglah, orang tuamu pasti khawatir anaknya enggak pulang-pulang."
"Aku bakal nemenin kamu malam ini," ucap Evan telak.
"Kok gitu?" Nindi mendelik. "Entar aku pulangnya gimana?"
"Ikut nginep sini," balas Evan santai.
Netra Thania nyaris melompat keluar dari tempatnya. "Gila ya? Besok sekolah dan kalian mau di sini nemenin aku? Udah enggak usah! Sana pulang!"
"Aku udah terlanjur bilang sama orang tuaku kalau aku nginep di rumah sakit malam ini," balas Evan polos.
"Sejak kapan?" Nindi tersenyum kecut.
Evan mendesis, menyuruh Nindi diam dan menyimak.
"Bilang lagi sama orang tuamu kalau kamu enggak jadi nginep. Entar kalau bapakku ke sini mergoki ada cowok main nyosor ke kamar rawat anaknya, berdua. Habis jadi dendeng kamu!" gertak Thania sedikit menakuti Evan.
Evan mengangkat kaki kanan dan menaruhnya di atas paha, menaikkan satu alisnya jenaka. "Enggak, tuh. Buktinya aku masih selamat. Waktu kamu tidur, bapakmu ke sini terus pergi. Katanya ada tetanggamu yang meninggal di Klaten. Terus kamu dititipin ke aku, deh."
"Kapan kita ketemu bapaknya, Van?" Mungkin bakat perusak rencana sudah melekat sejak lahir di tubuh Nindi.
Evan memelototi Nindi telak.
"Cowok gila," gumam Thania kalut, memejamkan mata.
"Wah, mungkin bapakmu udah lihat masa depan anaknya kali ya?" Evan mengelus-elus dagunya yang mulus. "Ah, aku ini emang mantu idaman."
Thania ingin muntah sekarang. Apa yang baru saja Evan katakan? Mantu idaman? Gila! Thania gila dalam sekejap! Bisa-bisanya kemarin waktu upacara dia kesakitan di UKS sampai pingsan. Terus Evan pakai acara jadi anak PMR segala dan sekarang begini. Sebenarnya, apa yang diinginkan Tuhan darinya?
Pikiran Thania mengambang dan besok pukul lima pagi, ia harus melakukan cek darah rutin. Ini yang Thania benci dari segala perawatan di rumah sakit. Thania benci jarum suntik dan Thania benci suster-suster yang selalu kegirangan begitu berhasil mengambil darah pasiennya.
"Van," Thania memanggil lirih.
"Hmmm?" Evan menyahut, memberanikan diri untuk menilik mata cokelat terang Thania yang indah di saat gadis itu tak mengenakan kacamatanya.
"Makasih," ucap Thania singkat.
Evan mengernyit. "Makasih? Untuk apa?"
"Makasih udah nolongin sama bawain aku ke sini tadi." Sekarang Thania melempar senyum untuk Evan. Sangat manis sampai pipi Evan memerah dan salah tingkah.
"Sa-sama-sama." Evan mengusap tengkuknya canggung.
"Van, kalau misalnya trombositku udah naik, aku siap buat operasi," jawab Thania mantap.
***
A/N
Aku tak tahu apa yang kupikirkan. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana bisa kabur dari cek darah rutin jam lima pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...