BAB 23

1.4K 173 107
                                    

KOTA Batu. Di sinilah Thania menginjakkan kaki sekarang. Udara dingin menusuk kulit dan gemericik air datang dari hotel di sebelah. Yang Thania herankan adalah di udara yang dingin ini masih ada yang mau berenang? Ah, kalau Thania sih, lebih baik menyeburkan diri di kasur dan berkemul.

"Makasih, Than udah mau bagi-bagi sabun. Sabunku ada di koper. Kopernya di bagasi. Duh, miris ya? Kenapa ketidakadilan menyelimutiku di kota ini?" Nindi mengerang, mulai bersandiwara.

"Halah, yang penting udah mandi. Tinggal sarapan terus akhiri penderitaan laporan PKL yang sudah menanti minta dicumbui," Thania menyahut acuh tak acuh, melipat pakaian kotornya yang tergeletak mengenaskan di kasur hotel transit.

"Kita mandinya bareng dan kamu sudah melihat tubuhku!" Nindi hiperbola, memeluk dirinya seraya memelototi Thania yang menatapnya tak minat. "Tubuhku sudah dilihat sama orang lain!"

Thania berdecak, mendekap pakaian kotornya itu. "Yang penting aku ini jenis kelaminnya sama kayak kamu dan ... aku enggak minat sama badanmu, Nin."

"Manusia selalu berdusta dan aku dengan bodohnya memercayai pendustaan itu. Ah, andai aku bisa menikahi Troye atau Moon Bin! Aku akan menjadi orang paling bahagia di muka bumi ini!" teriak Nindi seolah-olah memberi tahu kalau kiamat sudah dekat.

Tangan Thania meraih Nindi, menuntunnya agak paksa keluar dari kamar itu. "Sudah. Sudah. Hentikan sandiwaranya. Lama-lama kamu mirip anak teater, Nin. Ayo, makan! Mau kamu enggak sarapan pas di Eco Green Park?"

"Wah, Pak Eko guru kimia kita punya taman hijau pribadi di sini? Keren, Pak! Harusnya kita masuk gratis!" Nindi merepet.

"Efek enggak bisa tidur di bus mungkin kayak gini kali ya?" Thania tersenyum hampa.

***

Evan menempelkan earphone kesayangannya, mendengarkan lagu kesukaan setelah selesai menyegarkan diri dengan air dingin di hotel ini. Ya, sekarang harusnya sarapan. Akan tetapi, Evan malas untuk sarapan.

Diletakkannya pantat di pembatas taman, duduk di sana seraya menikmati aroma hujan. Menenangkan, ini yang disukai Evan. Perlahan keramaian sirna dan Evan terlarut dalam suasana.

"Than, kamu kalo makan jangan dikit-dikit kenapa? Pantesan kurus!"

Evan spontan menoleh dan memergoki Nindi bersama Thania, mengambil makanan untuk sarapan. Kening Evan tertekuk agaknya penasaran seberapa banyak Thania mengambil porsi makanannya.

"Nanti telat. Udah mau pergi, kan?" Thania bersikukuh. "Halah, aku ini gampang kenyang."

"Serahlah, Than. Aku udah ngingetin ya." Nindi pasrah keadaan.

Selama Thania masih di sana, selama itu pula Evan mengintip. Ia memerhatikan Thania dari taman dan sekarang ia ingin mengambil jatah sarapannya. Akan tetapi, Evan terlalu malu untuk ke sana.

Mendadak, Thania menoleh ke arah Evan. Sadar kalau ada yang mengamatinya dari jauh. Melihat hal itu Evan langsung membuang muka, diarahkan ke layar ponsel yang menyala.

Perasaan ada yang ngelihatin, tapi siapa ya? batin Thania bertanya-tanya.

Jangan sampe ketahuan Thania, Evan memohon dengan amat sangat. Berharap Dewi Fortuna berada di sisinya.

Thania mengedikkan bahu, melangkah menuju kamar, dan menyusul Nindi yang sudah pergi duluan. Evan mencerling lagi, kemudian menghela napas. Lega karena Thania tidak sadar kalau Evan-lah yang memandangnya.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang