BAB 42

857 120 39
                                    

KALIMAT-kalimat itu tak pernah Evan duga, menusuk bak pisau yang kini tertancap telak di jantungnya. Waktu terasa berjalan begitu lambat alih-alih terhenti. Seakan-akan bumi berhenti berotasi. Sekujur tubuh Evan mendadak dingin dan bergetar hebat. Jadi, selama ini Thania membenci Evan?

Dada Evan sesak seolah-olah ada yang menyempitkan bronkhus-nya telak. Hati Evan hancur berkeping-keping. Seseorang telah menyakitinya. Rasanya sakit, sakit sekali. Sakitnya tidak bisa disembuhkan. Tidak ada penawar. Ingin rasanya Evan berteriak. Ingin rasanya Evan menjerit. Ingin rasanya Evan memaki. Ingin rasanya Evan menangis.

"Maaf, kuharap kamu mengerti," ucap Thania datar.

Thania berbalik lalu berjalan cepat. Tanpa Evan ketahui, batin Thania teriris. Tanpa Evan ketahui, ada rasa tidak tega dalam diri Thania. Tanpa Evan ketahui pula, Thania menangis dalam diam.

Evan terus memandang Thania walaupun gadis itu tak pernah membalas tatapannya. Mata Evan memerah dan perlahan menitikkan air mata. Namun, lelaki itu segera menghirup napas dalam-dalam seraya memandang ke atas alih-alih menahan air matanya agar tidak jatuh.

Jangan nangis, Van. Jangan nangis. Jangan terlihat lemah, Van.

Evan mengusap wajahnya frustrasi. Ia duduk dan bersandar pada pilar masjid yang kokoh. Netranya terpejam, berusaha menenangkan diri. Mati rasa, itu yang ia rasakan. Pasti wajahnya sudah kacau. Kala itu, memori Evan terpancing. Teringat masa di mana ia bertemu Thania untuk yang pertama kali.

Kantuk menyerang dan Evan berusaha agar tetap terjaga. Namun, terlambat. Detik itu juga, Evan lebih memilih tertidur daripada terjaga.

***

Ia kembali. Kembali pada masa yang tak ingin ia kenang sejak kini. Evan memijakkan kakinya tepat di lapangan upacara. Kebingungan, mempertanyakan kenapa ia bisa kembali ke masa ini. Ia meneruskan langkah, mengedarkan pandangan. Mimpi ini seakan-akan nyata. Akan tetapi, Evan tak dapat menyentuh siapa pun. Ia tak terlihat, bahkan tak ada yang merasakan kehadirannya.

Langkahnya terhenti, mematung. Ia melihat Thania di sana, membasuh tangannya yang kotor. Pandangan Evan teralihkan, melihat dirinya tengah menatap Thania sambil tersenyum malu.

Masa itu, pikir Evan termangu.

Thania menoleh, memergoki dirinya tersenyum untuknya. Mata mereka beradu, terkunci untuk beberapa saat. Namun, Thania memutuskannya untuk kembali ke kelas. Evan memerhatikan lagi dirinya yang semu, menunduk sambil tersenyum.

Kalau saja kamu tahu, mungkin kamu enggak bakal senyum sebahagia itu, batin Evan teriris.

Sesuatu menyilaukan mata. Spontan kedua tangan melindungi netranya hingga cahaya itu enyah dari pandangan Evan. Perlahan, ia turunkan tangan itu dan menyadari kalau ia sudah tidak ada di koridor lagi. Akan tetapi, di lapangan upacara.

Seorang gadis melewatinya dan Evan menoleh. Thania, ia melangkah santai menuju kelas sementaranya. Sekali lagi, ia menemukan dirinya di sana, memandang Thania. Dirinya yang lugu. Dirinya yang naif.

"Assalamu'alaikum, Kak," begitu salam Evan pada Thania setelah memantapkan hati untuk menyapanya seperti ia menyapa kelas XI dan XII.

Evan ingat ekspresi Thania. Thania yang terkejut. Thania yang gugup. Thania yang bingung. Gadis itu mengangguk, tersenyum kecil, tetapi samar. Meskipun samar, Evan masih bisa melihatnya. "Wa'alaikumsalam."

Evan ingat, ia senang mendapat balasan dari Thania. Akan tetapi, sekarang Evan menyesal. Evan menyesal telah memberi salam untuk Thania.

***

Thania melangkah lesu, mengabaikan keadaan kelasnya yang ramai mirip pasar. Nindi, gadis itu langsung tersadar akan kehadiran Thania, menatap Thania heran. Ada apa dengan dia sebenarnya? Ini aneh. Tidak biasanya Thania lemas seperti ini. Apakah ada masalah?

"Than, kamu kenapa?" Nindi bertanya cemas.

Thania diam, memandang Nindi sedih. Yang ditatap pun bingung, mendadak panik ketika Thania menghambur padanya dan menangis di pundak Nindi. Ada apa? Kenapa Thania menangis?

Tangisannya terdengar pilu. Kali ini lebih histeris dari sebelumnya. Nah, sekarang Nindi kebingungan. Ini pertama kalinya Thania menangis. Ini pertama kalinya pula Nindi melihat Thania menangis. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi? Apakah ada yang mengganggu Thania lagi? Jika ada, siapa dia?

"Than? Than, kamu kenapa?" tanya Nindi panik. "Than, jangan nangis, Than."

Akan tetapi, Thania tak mendengarkan. Thania terus menangis dan tangisannya lebih keras dari sebelumnya. Dekapannya semakin kuat dan Nindi tidak bisa melakukan apa-apa selain diam, menuruti Thania. Tangan Nindi gemetar, berusaha untuk membalas dekapan Thania. Kepayahan, Nindi mendekap Thania erat, mengelus punggung gadis itu dan memejamkan mata.

"Than, ke kantin yuk. Aku laper. Toh, biar kamu enggak sedih lagi," demikian yang dikatakan Nindi.

***

A/N

Itu salam pertama dan mungkin terakhir yang aku dapatkan darimu.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang