BAB 46

838 109 109
                                    

"EVAN Dio Pratama." Bu Cip mengabsen dan menyapu pandangan. Keningnya tertekuk seolah melihat hal yang ganjil di kelas ini. "Evan ke mana? Ketua kelas, Evan ke mana?"

Abdyan, sang ketua kelas, langsung mengedarkan pandangan. Satu per satu wajah ia selisik, terkejut. "Tidak tahu, Bu. Sebelum Bu Cip ke sini, orangnya sudah pergi. Belum balik sampai sekarang."

Raut Bu Cip menegang, masam. Seolah-olah ada yang baru mengajaknya berperang sekarang. Giginya bergemeretak seperti geraman anjing labrador. "Evan duduk di mana?"

***

Sujud terakhir, sedikit dilamakan. Dalam sujudnya Evan berdoa, menginginkan sesuatu yang sangat ia inginkan. Ia bangkit dan melakukan tahiyat akhir. Bibirnya melafalkan bacaan. Telunjuknya bergerak, menunjuk ke kiblat. Evan menoleh ke kanan dan ke kiri seraya mengucapkan salam.

Evan mengusap wajah, menengadahkan tangan. Dalam diam, ia mengucapkan sepatah kata, berdoa. Masjid hijau nan megah saat ini tengah sepi. Tentu saja, jam pelajaran pertama baru saja dimulai. Mana ada siswa atau guru yang mau kemari di saat jam pelajaran?

Ya Allah, semoga Thania diberikan kesembuhan dan umur panjang. Mau bagaimanapun juga, dia temanku. Aku cuma pengen dia sehat, demikian Evan mengakhiri doanya.

Entah daya tarik apa Evan tak ingin beranjak. Entah apa yang ada di pikiran Evan, ia tak ingin kembali ke kelasnya. Evan benci suasana kelas. Bahkan ia nyaris membenci teman-temannya. Namun, Evan tidak jadi karena Thania kemarin baru saja menceramahinya soal rasa benci.

Nanti sore jenguk Thania, ah. Bareng Nindi. Tuh, bocah mestinya seneng aku ajak ke rumah sakit. Biar si Nindi sekalian cuci mata nyari perawat ganteng daripada mikirin siapa itu Rempeyek?

Ponselnya berdering, menari heboh di dalam saku. Evan merogoh dan membaca nama si pengirim. Evan menyunggingkan sebelah bibir. "Lah, baru beberapa hari enggak komunikasi, udah minta video call."

Evan menjawab panggilan itu. Baru saja ia hendak menyapa si pemilik akun, mendadak seorang gadis berkacamata berteriak histeris, "Anjir! Gor, dijawab sama temenmu ini! Ah, anjir! Gor, temenmu kok banyak yang ganteng sama lucu sih?"

"Van, enggak usah didengerin itu. Monyet Biadab enggak pernah lihat cowok soalnya," tiba-tiba Evan mendengar suara Krishna, memandang layar ponselnya malas tepat di sebelah gadis itu.

Si gadis melambaikan tangan, tersenyum lebar. "Halo! Salken ya. Aku Indah. Gor, ini temenmu embem kayak Doraemon sama vokalisnya Wali lama-lama."

Embem. Evan mencamkan kata itu pada otaknya. Udah embem, pendek gitu ya? Duh, miris. Bentar, tadi dia nyamain aku apa? Doraemon sama vokalisnya Wali?

"Van, kalo dia ngoceh. Iyain aja ya? Siapa tahu kamu kehabisan kata-kata terus dihajar habis-habisan sama Monyet Biadab." Entah Krishna sedang memberi Evan seribu satu cara untuk membalas ocehan temannya atau Krishna sedang memeringatkan Evan pada binatang buas, Evan memilih untuk mengangguk.

"Evan asli Jogja ya? Wah, sama dong. Dulu Evan SMP-nya di mana?" tanya Indah girang seolah ia baru saja menemukan mainan baru.

Baru saja diperingatkan, Evan sudah kehabisan kata-kata duluan. Ia mencerling, memandang Krishna yang kini tengah berbincang dengan seorang gadis berparas cantik. Evan penasaran sekarang. "Krish, itu kamu ngobrol sama siapa?"

"Anjir, Gor. Malah dikacangin. Mel, jangan tebar pesona kenapa?" Indah menggaruk sofa yang didudukinya, membuat Evan mengernyitkan dahi.

Evan kini tahu kalau gadis yang ia sebut cantik itu bernama Melati. Namun, kelegaan Evan tidak berlangsung lama. Sialnya, Krishna mengirimkan sinyal siaga satu. Netranya menatap tajam Evan bahkan merasakan aura lelaki berambut hitam legam itu sudah suram. Evan menelan ludah kecut karenanya. "Kenapa?"

"Van, jangan main-main atau naksir sama Melati," Indah memeringatkan dengan nada mengancam. "Nanti jadi gulai sama Gorilla Jahanam baru tahu rasa kamu."

Oh, jadi ini nama gebetannya Krishna. Asyem, ternyata emang bule seleranya sama orang Indonesia. Seleranya dia tinggi asyem. Evan tersenyum puas. Kita seri, Krish.

"Ini Evan? Van, kripik apelnya mana? Ngidam ini!" seru Melati tiba-tiba. Entah kenapa seruan Melati mengingatkannya pada Thania.

Sekarang, Evan kikuk sendiri. "Wah, ternyata yang pesen kripik apel cewek, toh? Ada di rumah. Mau minta dipaketin ke mana?"

"Van, inget sama Thania, Van," pada akhirnya Krishna yang memotong pembicaraan. "Dah, dulu ya, Van. Nanti sambung lagi. Itu kamu lagi di masjid, kah? Widih, udah alim."

"Lagi males di kelas. Ini mau balik."

"Balik sana! Balik! Dihajar guru BK baru tahu rasa. Dah ya."

Terputus.

***

Satu pijakan. Entah kenapa Evan teringat Thania. Matanya mencerling, mengintip kelas Thania. Bangku sebelah Nindi kosong. Sang pemilik tidak ada di sana, berbaring di atas pembaringan di sebuah bangsal di rumah sakit sana.

Batin Evan tidak tenang. Apakah Thania baik-baik saja atau justru tambah parah? Evan semakin tidak tenang.

Langkah kakinya terhenti. Diketuknya pintu kelas Evan yang sedikit terbuka. Seorang wanita paruh baya terlihat bersemangat menerangkan pelajaran agama. Kacamata plus yang selalu membingkai wajah seriusnya. Bu Mar, guru paling disegani di sekolah Evan.

"Assalamu'alaikum," sapa Evan ragu.

"Wa'alaikumsalam," balas semua orang termasuk Bu Mar, memandang Evan sedikit terkejut.

Tanpa berbicara sepatah kata, Evan menarik langkah dan membiarkan semua orang di kelasnya. Begitu Evan sampai di bangkunya, mata lelaki itu terbelalak seolah ia melihat sesuatu yang ganjil. "Loh? Tasku di mana ya?"

"Nyari tas, Van? Tuh, dibawa sama Bu Cip keluar barusan." Ayunda menatap sinis Evan seolah lelaki itu adalah musuh yang harus dimusnahkan.

Dahi Evan berkernyit. "Bu Cip yang bawa?"

"Iyalah, kamu pikir siapa?" Seorang gadis berkulit cokelat gelap ikut menimbrung. Nada bicara Diana menyiratkan kebencian yang mendalam.

"Salahnya sendiri keluyuran enggak jelas. Tasnya dibawa keluar biar tahu rasa. Dipikir sekolah ini punya nenek buyutnya apa?" Samar-samar Evan mendengar celetukan Shania.

Evan mengepalkan tangannya kuat. Dirasakannya kuku-kuku yang menancap di kulit, sakit. Evan tidak tahan. Akan tetapi, Evan menahan sakit itu dan emosinya yang berkecamuk.

Lelaki itu lantas berlari, tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Evan berlari tanpa mendengarkan panggilan Bu Mar. Evan berlari tanpa mengungkapkan sakitnya tamparan yang ia dapatkan hari ini.

***

A/N

Kala itu Bu Mar bercerita di kelasku ketika kamu tiba-tiba muncul dan ingin menemui salah satu temanku, Dea. Kamu saat itu pergi ke ruang agama dan Bu Mar menceritakan semua tentangmu.

Tentang sering keluyuran entah ke mana. Tentang tas yang sempat dibawa pergi sama Bu Cip. Tentang kamu yang takut dengan Bu Mar.

Tolong, jangan sering kabur dari kelas.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang