EVAN terkulai lemas, bahunya merosot begitu membaca balasan dari Krishna. Terkadang, Evan memang harus mengeluarkan ritual sesajen dulu sebelum Krishna membalas pesannya dengan balasan yang penuh dengan plot twist. Akan tetapi, hal itu tak pernah terlaksana.
Kalau kata Krishna sih, "Kamu kalau ngasih aku sesajen atau semacamnya, entar kamu sendiri yang rugi."
Ya, dia benar. Evan nanti bisa rugi dan ini sudah diuji dengan ilmu ekonomi yang diajarkan Bu Rubi padanya. Sebab, bisa saja anak yang satu itu menjadi parasit bagi dompet Evan. Siapa tahu?
Basudewa Krishna : Kamu mau ngajak chattingan atau enggak, itu urusan kamu. Aku enggak berhak untuk ikut campur. That's your privacy, dude.
Basudewa Krishna : Ya, kalau kamu mau ngajak ngobrol juga silakan. Ngajak ke pelaminan juga boleh.
Evan : Tai.
Evan : Dia enggak pernah chattingan sama cowok kayaknya. Dari mukanya kelihatan judes gitu.
Basudewa Krishna : Jangan menilai orang dari fisiknya.
Basudewa Krishna : Yaudah, enggak usah chattingan.
Basudewa Krishna : Hidup itu sederhana, kan? Tinggal milih apa yang mau kamu pilih.
Basudewa Krishna : Kalau ada yang bikin kamu ragu-ragu, mending tinggalin aja. Percuma juga kalau kamu enggak yakin terus kamu lakuin hal itu.
Evan termangu. Perkataan Krishna barusan sontak membuatnya diam, membeku di tempat, dan kehabisan kata-kata. Kalau dipikir-pikir, benar juga apa yang dikatakan Krishna. Sesuatu yang meragukan sebaiknya ditinggal saja.
Ya, memang seharusnya begitu, bukan?
Evan : Dapet wangsit dari mana, Krish? Tumben.
Tidak ada balasan setelahnya. Evan menelan ludah, menatap layar ponselnya tak enak hati. Yah, anak itu mungkin sudah tak bisa menahan rasa kantuknya lebih lama. Terlebih, sekarang pukul setengah dua siang.
Yah, ditinggal tidur lagi, rutuk Evan dalam hati.
Langit kelabu, suram. Begitu juga wajah Evan saat ini. Detik itu juga, Evan memilih melamun. Berkeliaran di dunia imajinasinya sendiri, menghilangkan rasa bosan yang akan membunuhnya telak.
Setengah jam lagi. Setengah jam menuju kebebasan untuk Evan. Dirinya sudah tak sabar, menantikan suatu hal yang telah ia nantikan.
Lampu di atas kepalanya menyala terang agaknya mendapat inspirasi. Diambilnya ponsel secara diam-diam. Acapkali ia mengawasi Bu Rubi yang masih asyik menerangkan tentang materi baru.
Butuh waktu yang cukup lama untuk memastikan Bu Rubi tak lagi mengawasinya. Karena biasanya, Bu Rubi bisa bertransformasi menjadi elang. Netranya cukup tajam untuk ukuran orang seusianya dan tak sedikit pula anak kelas Evan tertangkap basah bermain ponsel di saat pelajaran.
Evan suka berpikir, mungkin ia memang cocok jadi agen rahasia. Secara, ia pandai mengendap-endap, memiliki karisma, dan ... sedikit licik.
Sekarang, waktu yang tepat untuk melakukan misi perdananya. Ia membuka kunci layar ponselnya, membuka sebuah aplikasi, dan menulis sebuah sajak di sana.
Selesai.
Mata Evan terpejam, mengenyahkan segala suara yang ia dengar. Sekarang hanya ada dirinya dan imajinasinya. Ia mengembuskan napas agak panjang, kemudian memublikasikan sajak barusan.
Evan tersenyum kecil, membaca sajaknya barusan. Sajak yang dihasilkan imajinasi liarnya sendiri. Sajak yang menggambarkan suasana hatinya. Hanya sajak.
Aku takut, tapi berharap
Aku hanya tahu kamu bisa mengerti
Takut, akan pengertianmu yang berbeda dengan apa yang ingin kusampaikan
Di sini hanya harapku untukmu
Agar kau dapat menyimpan harap dalam takutku padamuWahai, Perempuan
***
A/N
Puisi di atas ditulis sendiri oleh E dan diizinkan sendiri dari sang penulisnya.
Vielen danke atas izinnya. Karena sebenarnya mereka-mereka yang ada di sini tak sabar menantikan sajak darimu.
Mereka tak tahu dan kau sendiri pun tak tahu. Butuh keberanian besar untuk membuat keputusan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...