MUSEUM Angkut. Akhirnya rombongan Thania sampai juga di tempat ini. Supir bus mulai memarkirkan busnya dan Thania kembali mengintipi jendela. Yah, ia rasa busnya yang pertama sampai dan disusul bus lainnya di belakang.
Thania memandang bus yang baru sampai itu, mencerling isinya. Wajah-wajah yang Thania kenali. Anak IPA 1 dan IPS 3. Itu berarti Nur ada di sana. Sontak saja ia mencari-cari sosok gadis gempal yang selalu Thania pencet lemaknya, gemas. Satu per satu wajah ia selisik, semakin ke belakang.
Deg!
Jantung Thania berdebar tak keruan. Suhu tubuhnya mendadak turun, membatu, dan pandangannya terkunci. Di belakang sana, ada sosok yang juga melihatnya dari bangku. Sosok itu memakai kemeja biru polkadot dengan kaus abu-abu tua di dalamnya.
Evan.
Tidak ada yang memutuskan kontak mata sebelum salah satu pemandu wisata sudah menyuruh rombongan bus Thania untuk turun. Namun, teriakan pemandu itu membikin Thania tersadar.
Dirinya juga memakai baju biru.
***
Seperti biasa. Thania dan Nindi selalu bersama. Ini harus dilakukan demi laporan PKL yang masa tenggatnya semakin dekat. Akan tetapi, mereka tidak hanya berdua saja. Ada Nata bersama mereka, sedangkan Tekse; anak itu pasti menghilang bersama Dea dan Rachma. Mungkin memenuhi memori seraya berbicara soal sinetron semalam.
Oke, jangan dibahas.
"Jujur ya, aku belum pernah ke Malang apa lagi ke sini. Jadi, sekarang kita kudu ke mana?" Nata akhirnya bersuara.
Thania mengangkat satu alisnya. "Mencari bahan untuk laporan PKL? Dokumentasi?"
"You don't say, Than!" Nindi turut menimbrung. "Kita ke sini cuma buat refreshing aja, helaw? Kita udah pake tamannya Pak Eko buat bahan. Sekarang kita keliling-keliling terus foto terus pamerin fotonya di instagram. Biar jadi anak hitz gitu. Gua enggak pernah yang namanya liburan ke luar kota! Cuma kali ini aja! Jadi, gua mau puas-puasin pamer foto di sini!"
Nindi terbahak licik persis tawa seorang penjahat di film laga. Dua perempuan yang bersama Nindi pun melangkah agak menjauh dari dia, perlahan. Nindi sudah berubah sedikit lebih berbahaya dari kemarin.
"Temenmu, Than?" tanya Nata tidak pasti.
"Aku enggak kenal. Itu siapa ya?" Thania bertanya balik. "Temenmu kali. Aku enggak punya temen otaknya gesrek kayak gitu."
Nata tertawa hambar, memamerkan barisan gigi putih yang selalu ia sikat setiap pagi dan malam. "Itu bukan temenku, Than."
"Cuma ini bukan liburan, tapi tugas! Apa ini?! Tugas rasa liburan? Sekolah kita emang pinter buat berkamuflase! Mending Mache jadi sekolah mata-mata sekalian," lanjut Nindi masih dengan nada bicara yang terkesan muak dengan fabula dunia.
Nindi mencerling, memergoki Nata dan Thania sudah melangkah jauh darinya. Sadar kalau ditinggal, Nindi berlari. Berlari menyusul dua temannya. Berlari mengejar mereka seakan-akan mengejar sang pujaan hati. "Tunggu, woi! Kalo kalian ninggalin aku, nanti laporan PKL-nya gimana?!"
***
Wilayah New York. Evan sampai di sini, mengedarkan pandangan takjub. Tempat ini memang bukan di New York, tetapi arsitekturnya dibuat mirip seperti aslinya.
Foto di sini, ah. Terus pamerin ke Krishna, Evan berencana. Dirogohnya ponsel dari saku celana cokelatnya, menyalakan kamera. Begitu ia akan berpose, ia terdiam. Bentar, kalau aku pamerin ke curut satu itu. Nanti jadinya bakal kayak gini.
"Wah, Evan pinter banget bohongnya ya. Wah, Evan sudah punya penghasilan tetap hasil kerja jadi Tenaga Kerja Waria di negeri seberang buat ke sini. Cuma kok aku ngerasa aneh ya? Van, kebohonganmu itu enggak mempan. Van, kalau mau bohongin aku yang pinter dikit ya," mungkin itu yang bakal Krishna katakan kalau Evan punya nyali buat pamer ke dia.
Keputusan Evan sudah bulat. Ia tidak akan memamerkan semua fotonya di Malang ke Krishna. Evan tidak siap menerima hujatan lebih awal.
"Evan, foto bareng yuk!" suara melengking khas perempuan merebak masuk dalam indra Evan.
***
"Janji Nathania. Satu!" Nindi mengangkat jari telunjuknya, menoleh ke dua temannya yang mengabaikan selama tur ini. "Heh! Ayo janji dulu sama aku!"
"Sudahlah," timpal Thania malas, menyipitkan mata.
"Eh, nama kalian cocok. Nata sama Thania. Kalau digabung jadi Nathania. Ih, namanya bagus!" pekik Nindi heboh sendiri. "Nindi, kamu genius sekali, Nak! Ibumu harusnya bangga sama kamu!"
Memutuskan untuk mengabaikan Nindi, Thania mencari hawa segar. Berharap mendapat pemandangan baru, justru Tuhan menginginkan hal lain.
Tidak, ini bukan soal Evan. Ini soal seseorang yang berniat mencari masalah dengan Thania. Gadis di seberang memandang Thania penuh kebencian.
***
A/N
Aku ingat. Waktu itu kebetulan kita memakai warna pakaian yang sama, biru. Aku benar-benar tidak tahu kalau kau akan mengenakan warna itu dan mungkin kau juga sama sepertiku. Sama-sama tidak tahu.
Aku bisa melihat sorot keterkejutan dari matamu meskipun samar. Namun, matamu tidak bisa menipuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...