BAB 34

910 125 46
                                    

THANIA membuka mata. Silau menyapanya. Partikel debu berebut masuk melalui ventilasi. Antara sadar dan tidak sadar melingkupi Thania. Jemarinya bergerak, memegang tepi ranjang.

Dengan susah payah Thania bangkit, meringis ketika pening menyergapnya tanpa ampun. Ia mengatur napas setelah berhasil menegakkan posisinya—duduk.

Dunia terasa berputar seakan-akan Thania mabuk kepayang. Ia menggeser pantatnya ke tepi ranjang, mengayunkan kaki kurusnya di sana.

Hening, tanpa suara. Thania larut dalam kesunyian yang menjemukan. Samar-samar pembacaan doa merebak, merambat masuk melalui dinding beton yang kokoh.

Perut kanan bawahnya berdenyut, mengisyaratkan Thania agar segera mengobati penyakitnya yang tak akan sembuh kecuali dengan operasi.

Ia sedikit menurunkan kakinya, meraba-raba di mana keberadaan sepatu kesayangan Thania. Perlahan, telapak kaki Thania merayap masuk diikuti kakinya yang lain.

Selepas sepatu telah dikenakan, Thania mencoba berdiri, dan menjaga keseimbangan karena pening masih belum mau beranjak dari tubuh Thania.

Satu, dua, dan tiga langkah. Thania merintih. Perutnya tak bisa diajak bernegosiasi. Seolah-olah ada ribuan pisau merunjam bagian tersebut. Akan tetapi, Thania lebih memilih untuk menahan. Ia mengabaikan sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya dan terus melangkah keluar bangsal.

***

"Thania?" Khansa bangkit begitu juga Evan yang ada di sebelahnya. "Kamu udah sadar?"

"Aku mau balik ke sana aja, Khans. Ini udah mendingan," ucap Thania lemah. "Tadi udah tidur. Jadi lumayanlah."

Evan terdiam. Matanya menatap ke arah lain. Perut kanan bawah dan tangan Thania di sana, memijat bagian itu. Evan semakin curiga kalau Thania sedang tidak baik-baik saja.

"Than, kamu habis pingsan. Udahlah istirahat aja. MPK sama OSIS udah tahu kalo kamu sakit. Udah di sini aja," Khansa merajuk. Ia tak ingin membiarkan Thania keluar dalam keadaan seperti ini.

"Makasih, Khans, tapi aku mau ngikut sana aja," desak Thania menolak halus permintaan Khansa.

Evan melipat kedua tangannya. "Kamu aja masih sakit gitu kok ya masih aja ngeyel."

Thania dan Khansa spontan menoleh, memasang ekspresi terkejut karena tiba-tiba saja Evan berceletuk. Terlebih Thania yang mimiknya lebih jelas. "Lah? Kamu ngapain di sini?"

"Aku kan, PMR. Jelas, dong, kalau aku di sini." Evan mengangkat satu alisnya setengah mengejek.

Kok ngeselin ya? rutuk Thania yang sebenarnya ingin menghajar Evan habis-habisan saat itu juga.

Thania mengangkat dagu angkuh, melipat kedua tangan, dan berlagak seperti pemimpin mafia di hadapan Evan. "PMR ya? Bukannya kamu harusnya tugas di luar? Kok malah nyasar ke sini? Ini pasti ada maksud terselubung."

Asyem. Thania kalo ngomong suka bener. Bener kata Bu Depe, Thania itu galak. Singa aja kalah, batin Evan bergidik ngeri.

Evan berdeham maskulin, menjaga citra di depan gadis yang ditaksirnya. "Jelas, emang ada maksud. Eh," —Evan tersentak, sadar akan ucapannya— "enggaklah! Kurang kerjaan. Tadi aku sama Gilang nggotongin kamu tahu. Ngerepotin, pake acara pingsan. Udah gitu, berat lagi."

"Ya, maaf." Thania memutar bola mata malas. Ia muak dengan sikap hiperbola Evan atau jangan-jangan semua anak teater memang jebolannya seperti ini? Untung Thania tidak jadi ikut ekskul teater.

Tidak sesuai ekspektasi. Kukira bakal bilang gitu. Tahunya dibales kek gini. Miris.

"Minta maaf itu yang ikhlas." Evan membuang muka walaupun sebenarnya ia tidak mau melakukan ini. "Diminum tehnya. Keburu aku minum."

Thania mendesis sebal. Evan baru saja membuatnya naik pitam. "Apa hubungannya meminta maaf dengan secangkir teh panas? Kamu aneh."

Aneh, tapi aku suka.

"Tehnya manis, loh. Lumayan buat nambah energi. Kalau enggak minum, aku paksa." Evan beranjak, melintas ke meja.

"Bodo amat. Terserah mau paksa atau kamu minum juga terserah. Aku enggak peduli." Thania mendengus.

Deg!

Evan menyodorkan secangkir teh panas untuk Thania. Entah kenapa debar jantungnya mendadak kencang. Gadis itu termenung. Van, maksudmu apa?

"Minum tehnya," ucap Evan telak.

"Enggak mau. Buat kamu aja." Thania mengibaskan tangannya.

Evan menarik tangan Thania, memberikan secangkir teh panas. Thania mendelik. Evan mengangkat satu alisnya. "Minum."

Lelaki itu berlalu, kembali duduk di bangku panjang. Akan tetapi, Thania tidak. Ditatapnya teh itu dan menatap samar refleksi dirinya.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

***

A/N

Kita pernah berbincang sebentar di UKS, tetapi bukan topik di cerita ini, melainkan tinggimu berapa?

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang