"SATU pijakan." Mata mereka beradu, lekat hingga tidak ada yang bisa melepaskannya. Kalimat itu terlontar begitu saja tanpa direncanakan.
Evan termangu, menatap paras Thania yang hanya beberapa senti jaraknya. Setiap kali Evan melihat Thania, ia merasakan jantungnya berdetak. Orang-orang berkata, kehidupanmu dimulai ketika jantungmu berdetak dan ketika jantungmu berdetak, dia ada di sana. Evan membenarkan kutipan yang sering muncul ketika ibunya menonton drama India.
"Kamu ingat kejadian itu?" Evan memberanikan diri untuk bertanya meski dirinya ragu.
"Sejak kecil aku memiliki kemampuan untuk tidak melupakan kejadian yang menimpa hidupku. Mana mungkin aku lupa soal kau berusaha mendekatiku," begitu kata Thania.
Tidak ada nada benci di sana. Tidak ada nada marah maupun jengkel. Apakah ini sebuah keajaiban atau ilusi semata? Evan tidak tahu. Thania, gadis itu sangat misterius. Evan tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran maupun yang akan ia katakan.
"Aku melakukan ini semua karena aku ingin kau menjauh dariku," lanjut Thania tersenyum getir.
Namun, raut itu mendadak berubah. Seperti habis menelan pil pahit atau merasakan gejolak dalam dirinya. Thania mengerang kesakitan kontan itu membuat Evan panik. Ada apa? Thania kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Evan bingung.
Thania terus merintih, menahan perih yang menyergap perut kanan bawahnya. Tidak, kumohon. Jangan sekarang. Jangan sekarang, batin gadis itu memohon.
Pening menyergap Thania. Suara Evan yang berusaha menjaga kesadarannya mendadak hilang. Hanya ada keheningan dan gelap. Lemas, Thania berusaha menahan beban tubuhnya. Semua terasa mati. Tidak ada yang bisa Thania rasakan. Semua hilang, termasuk Evan.
***
Panik. Satu kata mendeskripsikan semuanya. Orang-orang panik saat membawa Thania menuju IGD. Bu Riri ada di sana bersama Pak Eko, Bu Depe, Nindi, dan juga Evan. Semua panik ketika Thania terserempak pingsan.
Ada apa? Apa sebenarnya penyakit yang diderita Thania? Evan bertanya dalam hati. Rasa cemas melingkupi. Ia tidak ingin sesuatu terjadi pada Thania. Sangat tidak ingin.
Semua orang cemas, menunggu di luar IGD. Tidak ada yang berbicara. Hanya keramaian rumah sakit yang menemani. Semua orang khawatir, berdoa agar Thania baik-baik saja.
"Evan," seseorang memanggil dan Evan menoleh. Bu Riri yang memanggil, menatapnya intens, "Ibu mau bicara empat mata sama kamu."
Evan menunduk sesaat kemudian bangkit. Bu Riri pun begitu, beliau melangkah terlebih dahulu lalu Evan mengekori. Tidak ada yang menyusul setelah Evan. Mereka lebih memilih diam sembari menunggu Thania yang sedang mendapat pertolongan pertama.
Di lorong yang sepi, langkah Bu Riri terhenti. Begitu pula Evan. Bu Riri, wali kelasnya, memandang lagi salah satu anak didiknya dan menghela napas agak panjang. "Evan, kamu tadi ke mana aja? Kenapa baru muncul pas selesai istirahat?"
Evan tidak menjawab. Ia hanya menunduk lemas.
"Evan, kamu ada masalah sampe kabur dari kelas? Kamu ada masalah dengan teman-teman kamu? Kalau ada, kamu bisa cerita sama Ibu. Ibu cuma enggak mau pelajaran kamu sampe terganggu karena kabur," Bu Riri melanjutkan dengan tatapan melunak.
"Tidak ada masalah, Bu. Semuanya baik-baik saja. Saya cuma mau jalan-jalan sebentar. Itu saja," jawab Evan kaku.
"Kamu yakin? Tidak ada masalah sama temen kamu?" Bu Riri tidak yakin kalau itu adalah jawaban terjujur dari Evan. Bu Riri yakin, Evan menyembunyikan sesuatu yang tidak diketahuinya.
"Saya yakin, Bu. Hal yang saya lakukan tidak ada hubungannya dengan masalah di kelas antara saya dan teman-teman saya." Evan tetap bersikukuh, meyakinkan Bu Riri yang semakin mencurigainya.
Bu Riri terdiam lalu mengembuskan napas lagi. "Ya sudah, tapi kabur dari kelas jangan sampe terulang lagi ya."
Evan hanya mengangguk. Tanpa basa-basi, Bu Riri menarik langkah kembali ke sana, di depan ruang IGD. Evan tidak menyusul, berdiam diri di sini dan memejamkan mata. Ia baru saja melakukan sebuah kesalahan. Berbohong pada wali kelasnya sendiri.
Evan berbohong. Berbohong kalau tidak ada masalah antara dirinya dan teman-teman sekelasnya. Evan tahu, hampir semua teman sekelasnya membenci Evan. Bahkan, Evan tidak tahu alasan mengapa mereka membenci dirinya.
Evan sering mendengar, semua anak kelasnya membicarakan hal buruk mengenainya tanpa sepengetahuan mereka. Kebanyakan membicarakan tentang ketidaksukaan pada sifat Evan yang suka memotong pembicaraan orang dan dianggap sok tahu.
Evan tidak mengerti. Sejauh ini, kenapa orang-orang tidak bisa menerima dirinya apa adanya? Dari TK sampai sekarang. Semuanya selalu sama. Tidak ada yang bisa menerima dirinya.
Evan berbohong. Berbohong kalau ia hanya ingin jalan-jalan saja. Tidak, Evan tidak ingin jalan-jalan. Evan butuh tempat. Tempat di mana ia bisa meluapkan emosinya, meringankan beban yang dipikul sejak lama, dan melepaskannya perlahan.
Namun, Evan berusaha menutupinya dengan seringai ceria tanpa dosa, tanpa beban. Sesungguhnya, senyuman orang-orang ceria itu menyembunyikan duka yang dalam.
"Evan?"
Evan menyembunyikan wajah kacaunya, segera menoleh dengan mata merah. Nindi, rupanya gadis itu yang memanggil. Nindi mendekati lelaki itu dan duduk di sebelahnya, di lantai rumah sakit.
"Thania gimana?" Evan bertanya telak.
"Dia udah sadar. Dia baik-baik saja. Cuma," Nindi menggantungkan kalimatnya, membuat Evan bertanya heran.
"Cuma?" Evan mengulang perkataan Nindi.
"Thania dipindahin ke ruang persiapan opname, Van."
Deg!
***
A/N
Aku tidak tahu, apakah esok kita masih bisa bertemu lagi atau tidak sama sekali?
Taqabalallahu minna wa minkum. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin. Jika aku ada salah kata dan perbuatan baik yang disengaja maupun tidak, mohon dimaafkan. Semoga di hari yang fitri ini kita mendapat keberkahan.
See you really soon at Youtopia!
P. S. Aku akan kembali, tak lama setelah ini. Semoga kalian mau menungguku di penantian panjang ini. Silakan beri komentar dan pendapat mengenai cerita ini. I'll appreciate it.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...