KERAMAIAN mengusik Evan. Angin berembus sepoi-sepoi, menerbangkan rambutnya yang sedikit panjang. Kalau kata Thania, sih, rambut Evan mirip rambutnya Jefri Nichol waktu jadi Nathan. Sebenarnya Evan ingin menolak pernyataan itu, tetapi demi Thania, ia memilih untuk membenarkannya.
Sekolah menampakkan aktivitas pasarnya. Sejauh mata memandang, Evan hanya melihat para petugas kebersihan menyapu halaman dan memotong rumput sepuluh juta Bu Mar. Bahkan Evan penasaran, rasanya menduduki rumput sepuluh juta Bu Mar itu seperti apa?
Masa bodoh dengan semua orang, Evan hanya mau ke masjid dan mendoakan kelancaran operasi Thania. Tadi sekitar pukul sembilan, Thania mengiriminya pesan kalau dia diizinkan operasi dan trombositnya juga sudah naik.
Doakan saja operasinya bisa lancar dan Thania kembali sehat seperti sediakala.
Dilepasnya sepatu hitam yang ia pakai, menaruhnya di dekat pintu masuk masjid. Evan melangkah pasti, mendekati kran yang selalu setia menempel di dinding beton berwarna hijau. Tangannya bergerak, memutar, dan membiarkan air mengalir dari sana.
Evan menengadahkan tangan, mengambil air, memulai wudhu, dan membiarkan hampir seluruh tubuhnya basah. Evan segera beranjak ke masjid, mencari tempat yang tepat untuk mendekatkan diri pada Sang Maha Indah.
Satu takbir pun Evan lakukan.
***
Thania menunggu cemas para perawat yang akan mengantarnya ke ruang bedah. Hasil pemindaian tubuhnya sudah jadi dan semuanya bagus. Thania dinyatakan siap untuk operasi. Di luar sana, cuaca cukup cerah seolah menyemangati Thania. Namun, entah kenapa Thania benar-benar risau meskipun hal yang ia nantikan sejak dulu hampir ia gapai.
"Operasi itu enggak sakit kok," ucap Ayah Thania selembut buntalan kapuk yang mengisi bantal dan guling. "Nanti kamu dikasih obat bius terus bakal tidur pas operasi."
"Ngasih obat biusnya di mana?" Thania bertanya penasaran merangkap waswas. Siapa tahu ia akan mengerang kesakitan saat diberi anestesi.
Sang Ayah pun nyengir kuda. "Di tulang belakang."
Ingin rasanya aku kabur dari sini.
"Itu sakit," tukas Thania telak.
"Enggak sakit kok. Kayak digigit semut." Sang Ayah terus tertawa ketika memergoki anak sulungnya ketakutan akan bayang-bayang jarum suntik yang menusuk tulang belakangnya nanti.
Kebohongan publik yang sering kudengar.
Derap kaki memasuki ruang ditambah suara roda yang menggelinding di lantai keramik licin. Dua perawat berpakaian serba putih melempar senyum merekah seraya mendorong sebuah ranjang berwarna putih gading.
"Mbak Thania, sudah siap buat operasi, kan?" tanya salah satu perawat dengan rambut terurai sebahu.
Thania mengangguk ragu. Entahlah, keraguan ini seolah mengepung dirinya. Padahal dua hari yang lalu, ia sudah berjanji pada Evan untuk semangat menjalani operasi. Hanya beberapa jam saja, setelah itu Thania harus menikmati sensasi jalan ala nenek-nenek sembari menahan perih jahitan operasi.
"Biar saya bantu, Mbak." Si perawat berambut sebahu itu menjumput infus Thania, menuntun gadis itu ke ranjang yang sudah mereka siapkan. "Nyampe buat naik, kan? Nyampe dong. Orang kakinya panjang gitu."
Thania melempar senyum palsu kemudian membaringkan diri di atas ranjang empuk yang akan membawanya pada dokter yang akan mengambil penyakitnya. Lampu kamar terasa silau, tetapi Thania tak menghiraukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...