SATU tegukan. Thania berhasil menghabiskan satu kopi yang dipesannya. Mata gadis itu masih sembap, belum mencuci wajah. Dalam hati, Nindi setengah senang. Karena, ia bisa keluar dari kelas selama pelajaran dan gurunya mengizinkan. Nindi harus berterima kasih pada Thania.
"Udah mendingan, Than?" Nindi menyuapkan nasi ke mulutnya.
Thania tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya mengangguk pelan dan itu pun lemas. Nindi menghela napas, menatap Thania penasaran. Ingin rasanya Nindi bertanya, tetapi sepertinya Thania belum mau membuka diri.
"Than, gimana soal penyakitmu? Udah kamu obatin?" Nindi mengganti topik pembicaraan. "Mbok diobatin. Bisa bahaya loh kalo enggak diobatin."
"Udahlah, Nin. Biarin aja. Aku udah capek bolak-balik rumah sakit terus," ucap Thania setengah enggan.
Nindi terkesiap. Ini pertama kalinya Nindi punya teman yang tidak peduli dengan kesehatan tubuhnya. "Kok gitu? Bolak-balik ke rumah sakit biar sehat, Than! Biar kamu bisa sekolah enggak sakit-sakitan gini!"
"Apa gunanya sembuh kalo aku opname di sana sebulan dan enggak ada perkembangan sama sekali. Kemarin aku aja demam, suhunya 39,5 derajat. Badanku masih lemes," ujar Thania mengaduk-aduk gelasnya yang kosong.
Nindi menghela napas berat. "Ampun, Than. Lagi sakit kok ya ngotot masuk, sih? Kalo aku jadi kamu, aku terima enggak masuk. Kamu dianter atau naik motor sendiri?"
Thania memutar bola mata ke kiri, lalu mencerling Nindi dengan tampang tanpa dosa. "Naik ... motor sendiri?"
"Nah, kan. Udah miring kamunya. Kenapa kamu pake acara naik motor sendiri, Than? Bisa-bisa aku yang nganterin kamu pulang ini. Kamu tahu sendiri rumah kita itu kayak kutub utara sama kutub selatan. Berlawanan arah! Ngalang!" Nindi menggaruk meja kantin depresi.
"Meskipun mereka berlawanan, bukannya kutub utara sama kutub selatan bakal menyatu kalau didekatkan? Sama kayak kita. Kita berbeda, tapi kita nempel terus." Thania menopang dagu, memandang Nindi seperti anak kecil.
Nindi menepuk jidat. "Kok ya aku bisa kenal kamu itu ceritanya gimana, sih?"
"Kita satu bangsal di UKS sambil jelek-jelekin kakak kelas yang sukanya main drama-dramaan," celetuk Thania enteng tanpa beban. Seolah perkataannya tak bisa didengar banyak orang.
"Malah diceritain beneran. Than, nanti kalo kita kena kutukan dari kakak kelas gimana? Terutama dari Masnya yang itu! Ah, jangan, Mas! Jangan kutuk penggemarmu ini!" Nindi menggaruk lagi meja kantin yang ada di depannya frustrasi.
Thania tertawa keras sekali. Tingkah Nindi benar-benar membuatnya terbahak. Ujung matanya menangkap sosok yang melangkah lesu, memasuki kantin yang sepi. Thania membatu. Thania mendadak bisu. Thania ingin lenyap dari muka bumi saat ini juga.
Buru-buru gadis itu membuang muka, melirik sisi kanan dengan wajah tegang. Nindi terheran-heran. Kenapa ekspresi bahagia Thania langsung hilang? Ia mengedarkan pandangan dan memergoki Evan di sana, tengah memesan makanan. Ayam geprek cabai tiga.
Oh, apa Thania lagi berantem sama Evan? Bentar, emang kapan mereka ngomong-ngomongan? Kayaknya kalo mereka ketemuan kayak orang pura-pura enggak kenal gitu, begitu yang dipikirkan Nindi.
"Than, muka judes gitu kenapa?" tanya Nindi penasaran.
"Itu ngejek apa gimana? Muka dari lahir udah gini kali, Nin." Otot-otot wajah Thania mulai menegang dan Nindi bisa melihatnya.
"Lagi ada masalah, Than?" Nindi mengeraskan suaranya, mencerling ke Evan yang baru mengambil pesanannya. Berhasil! Evan mengamati mereka.
"Everything is fine, Nin. Or everything will be fine after you broke someone's heart with some reasons that he never knows. Sorry, aku enggak bisa pake bahasa Inggris. I'm not good at English. Can't speak as well as you do." Thania mencoba untuk tersenyum walaupun itu palsu.
Nindi mencerling Evan lagi. Ya, lelaki itu masih menatap mereka lebih tepatnya Thania. Tangannya bergetar dan begitu juga piringnya. Nindi semakin yakin kalau Evan dan Thania sedang ada masalah.
"Beginikah rasanya dipandangi sama cowok? Mungkin aku terlalu cantik dan menggoda seperti mantan ceweknya Troye sebelum dia berubah jadi begitu. Ah, Mas Troye! Pinang aku, Mas! Pinang aku pake pohon pinang, Mas! Dedek rela!" Nindi berteriak alih-alih membiarkan Thania memergoki Evan tepat di belakang sana.
Thania menoleh sekilas dan kembali memergoki Evan berdiri di sana, memandangnya sedih. Lantas, Thania bangkit dengan wajah masam. "Nindi, ayo balik ke kelas."
"Than? Kok cepet? Ayam geprek aing belum habis ini! Biar habis dulu kenapa, sih? Kayaknya enggak seneng aku ngehabisin makanan dulu," rutuk Nindi alih-alih protes.
"Bawa piringnya ke kelas, Nin. Makan pas pelajarannya Pak Eko. Bilang kalo kamu kelaperan, belum makan dari pagi. Terus tawarin ke Pak Eko, 'Makan, Pak' gitu," jawab Thania agak sarkastik.
Evan kembali menemui Pak Agus, si penjaga kantin. "Pak, yang ini dibungkus aja. Enggak jadi makan di sini. Biar makan di kelas aja."
"Oke, Mas. Bentar ya."
Than, aku ngalah. Kalau kehadiranku emang mengusik ketenanganmu, aku bakal pergi.
"Mas Evan, ini udah dibungkus." Pak Agus memberikan sebungkus nasi ditambah ayam geprek cabai tiga pada Evan.
Yang dipanggil kontan menoleh, menyimpulkan senyuman terpaksa. Ia mengambil pesanannya dan mengucapkan terima kasih untuk Pak Agus. Nindi memandang Evan lagi dan sekarang, ia semakin yakin kalau ada masalah di antara dua manusia di hadapannya ini.
"Than, habisin ayamnya dulu, ah! Tega bener sama aku. Jarang-jarang Pak Eko kasih hak istimewa sama muridnya. Udahlah, makan dulu ya?" Nindi masih bernego. "Entar aku traktir es cokelat deket sekolah, deh. Enak loh! Manis kayak aku."
"Kita udah kelamaan di sini, Nin. Nanti ketinggalan banyak entar pas ulangan kamu hiper lagi. Eh, kamu hiper nilainya masih seratus, deng." Thania memicingkan mata setelah mengingat nilai yang biasanya Nindi dapatkan setiap ulangan.
"Enggak mau. Enggak mau. Enggak mau." Nindi merengek seperti anak kecil.
"Ampun, dah. Mirip anak kecil. Jibang sumpah." Thania bergidik. "Tuh, kamu ngusir orang lain yang mau makan di kantin. Udah ah, balik aja yuk."
Evan menoleh karena merasa terpanggil secara tidak langsung, mengernyitkan dahi. "Enggak, dia enggak ngusir. Males aja makan di kantin. Kalau masih mau di sini juga enggak apa-apa. Aku cuma mau makan di kelas."
Thania memandang Evan intens alih-alih tak membalas ucapannya. Nindi nyengir kuda, menggebrak meja dan mengagetkan satu kantin. "Van, ke kelasnya bareng ya!"
Deg!
Nindi, kamu mau minta dibantai pelan-pelan ini.
***
A/N
Ada satu kenangan yang belum aku ceritakan di sini. Satu kenangan yang sukses membuatku bertanya-tanya dan akan aku ceritakan setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Teen FictionKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...