BAB 44

847 114 70
                                    

NINDI tersenyum kecut. Pasalnya, Thania tidak membiarkan Nindi pergi alih-alih tangan Nindi didekapnya kuat. Nindi tertawa masam. "Inikah rasanya punya banyak penggemar? Jangan-jangan aku ini terlalu tampan."

"Tampan enggak, ngeselin iya," cibir Thania kesal.

Evan hanya bisa tersenyum hampa. Dua perempuan itu berada jauh di belakang. Iya, Evan tahu alasan kenapa mereka ada di belakang dan jaraknya lumayan jauh. Akan tetapi, bukan itu yang membuat Evan geli, melainkan omongan Nindi soal dirinya tampan itu yang membuat Evan geli.

"Kok ya, aku bisa satu SMP sama Nindi ya?" Evan menggerutu, tetapi tidak melunturkan senyuman hampanya itu.

"Van, kurang kecil suaranya! Aku masih bisa denger!" seru Nindi memeringatkan seakan-akan ia mengajak Evan untuk bertempur. "Oh, iya. Kebanyakan artis itu ada haters-nya. Apa jangan-jangan aku ini udah seterkenal itu? Ah, Emak! Anakmu jadi artis!"

Thania mencubit pipi Nindi gemas, berharap setelah ini Nindi akan diam seperti patung batu. "Diem, Nin. Diem. Mau minta digorok bagian mana, Nin? Aku udah siap."

Evan berjingkat alih-alih merinding. Serius Thania mau membantai Nindi? Parah, jangan-jangan Thania psikopat. Evan saja tidak berani menonton film The Woman In Black. Pernah sih, nonton cuma sebentar. Itu pun ada Jessie, Iwan, dan ... Thania. Akan tetapi, belum sampai semenit Evan sudah angkat kaki dari sana saking ketakutannya.

"Jangan bantai aku di pantai, Than. Belum siap mati. Nanti Troye sama Moon Bin di rumah mau dikasih makan apa? Bakal lucu kalo mereka denger istri merangkap selingkuhan mati digorok Anabelle," celetuk Nindi asal-asalan.

Evan ingin tertawa sekarang.

Satu pukulan mendarat di kepala Nindi. Memang tidak keras, tetapi Nindi tidak menyukainya. "Jangan pukul di kepala dong, ah! Aku enggak suka dipukul bagian itu!"

"Ya udah, makanya diem," balas Thania tak kalah sengit.

Hening menyambut mereka. Akan tetapi, rasanya ada yang aneh di perut Nindi. Antara sakit, mules, dan pengin kentut. Semua bercampur menjadi satu. Ada apa ini? Ah, Nindi dapat panggilan alam sepertinya. "Aduh, Than. Mending kamu duluan ke kelas bareng Evan, deh. Kan, searah."

Thania mendelik. "Hah? Kamu mau ke mana?"

"Panggilan alam! Ampun! Aku dikutuk pacar cowoknya Troye ini!" Nindi berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan dua insan yang tengah memandangnya heran. "Duluan aja kalian! Ya, dadah!"

Nindi bener-bener minta digorok.

"Than," seseorang memanggil dan Thania langsung menoleh, menampilkan wajah masam merangkap ketidaksukaan. "Ayo ke kelas. Nanti kamu ketinggalan materi. Kamu enggak bisa kimia, kan?"

Thania menghela napas gusar, melewati Evan begitu saja. Tanpa menunggu ataupun berjalan berdampingan. Evan tidak tahu kalau Thania benar-benar membenci Evan, sebenci itu. Jadilah ia menyusul gadis itu tepat di belakang lalu menyamakan langkahnya dengan Thania.

***

Satu pijakan. Entah kenapa ini mengingatkan Evan pada sesuatu. Satu pijakan. Sesuatu memancing memori Thania. Ada apa dengan satu pijakan? Mengapa semuanya terasa familier? Hawa ini. Suasana ini.

Apakah mereka memiliki kenangan dengan satu pijakan?

***

Kala itu, hari Kamis Pahing.

Entah kenapa pula harus hari itu.

Kamis Pahing, hari itu seluruh pelajar kota Yogyakarta memang diwajibkan untuk mengenakan pakaian gagrak Yogyakarta. Termasuk sekolah Evan dan Thania sendiri.

Kamis Pahing, hari itu menjadi saksi bisu pertemuan antara dua insan yang berbeda. Pertemuan singkat berakhir tanda tanya.

Kala itu, Evan mengenakan surjan kuning keemasan dan sehelai jarik khas Yogyakarta. Sebenarnya, Evan malas memakai pakaian seperti ini. Di samping ribet, pakaian ini juga panas. Akan tetapi, kalau demi menyelamatkan budaya Jawa yang sudah hampir punah, mau tak mau Evan harus mengenakannya.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah kaki terdengar dari belakang, mengikuti Evan. Dari jendela perpustakaan, Evan menatap refleksinya dan orang yang membuntuti.

Seorang gadis dengan kebaya berwarna merah muda susu. Lengkap dengan kerudung berwarna senada dan jarik khas Yogyakarta seperti miliknya. Namun, beda model.

Jantung Evan berdegup kencang ketika gadis itu ada di dekatnya. Thania. Astaga, entah kenapa kalau Evan melihat Thania memakai kebaya, bayangan sosok orang-orang zaman dahulu terbesit dalam benaknya.

Cantik. Eh, bentar. Aku mikir apaan?

Evan berbelok ke tangga, menapaki satu per satu anak tangga. Ketika ia hendak menginjakkan kaki ke anak tangga yang berikutnya, Evan memergoki Thania yang baru saja naik. Evan mempercepat langkahnya, berharap Thania tidak melihat wajah memalukan Evan.

Satu pijakan. Evan sudah sampai lebih dulu di sana, kebingungan. Kelas tinggal beberapa langkah, tetapi hatinya masih ingin menunggu Thania. Kalau dia menunggu di sini juga bakal ketahuan niat modus. Ah, Evan jadi serba salah.

Ah, situ ada kamar mandi. Pura-pura ke kamar mandi, ah!

Evan mengganti haluan ke kiri alih-alih harusnya ke kanan, ke kelasnya. Thania yang melihat Evan hendak pergi ke kamar mandi pun langsung mempercepat langkah, menaiki setiap undakan sebelum Sinta datang dan merebut bangkunya di sebelah Nindi dan Thania tidak ingin hal itu terjadi.

Satu pijakan. Thania sampai di atas.

Baru dua langkah dan Evan langsung berbalik ketika Thania sudah sampai di atas. Mereka berjalan. Berjalan berdampingan. Berjalan bersama hingga kelas memisahkan mereka.

***

Memori, menyatukan mereka yang telah retak.

Evan dan Thania beradu pandang, terkunci. "Satu pijakan."

***

A/N

Memori, mengingatkan kenangan yang tertimbun luka. Aku memang tidak bisa membuat kata-kata sepuitis kamu. Karena, memang aku tidak begitu terbiasa dengan hal itu.

Aku tidak lupa dengan kejadian itu. Karena, sejak kecil aku memiliki kemampuan untuk mengingat setiap kejadian yang terjadi dalam hidupku.

Termasuk kamu sekalipun.

Hello, Evan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang