"RUANG persiapan opname?" Evan terkejut setengah mati seolah ada yang menyetrum dirinya dengan listrik bertegangan cukup tinggi. Dinding rumah sakit mendadak suram. Suhu lorong turun beberapa derajat. Pertanda apakah ini?
Sial. Than, sebenernya kamu sakit apaan, sih?
"Kamu ... pucat, Van. Kamu sehat, kan? Enggak lagi sakit?" Sekarang Nindi juga ikut-ikutan khawatir.
Evan menggeleng. Dipejamkannya mata cokelat gelap Evan, mengambil pasokan oksigen sebesar-besarnya dan membuangnya perlahan. "Aku enggak lagi sakit. Aku baik-baik aja," begitu jawab Evan. "Nin, kamu tahu Thania sakit apa?"
Nindi terdiam alih-alih membisu. Ia menunduk seolah-olah ada sesuatu yang menahannya untuk berbicara. Seolah-olah ada yang mengancam jika Nindi membeberkan rahasia ini. Rahasia terbesar Thania.
"Nin, kenapa diem? Jawab pertanyaanku, Nin," desak Evan terus-menerus. Akan tetapi, Nindi tetap bungkam seribu bahasa. "Nin, Thania pasti suruh kamu buat ngerahasiain penyakitnya ya? Nin, jawab, Nin."
Akan tetapi, Nindi tetap diam.
Evan geregetan. Ia mengguncang tubuh Nindi, kuat. Berharap dengan ini gadis itu akan mengatakan semua yang ia sembunyikan. "Nin, aku juga temen Thania, tapi tolong jangan sembunyiin penyakit Thania sama aku. Gimana aku bisa bantu temenku kalo aku enggak tahu masalahnya?"
"Kamu yakin bisa bantu Thania, huh?" suara Nindi terdengar bergetar. "Kamu yakin bisa bantuin Thania buat selamat dari appendicitis yang udah parah?! Appendicitis yang sudah nyebar ke seluruh tubuhnya?!"
Deg!
Semua terhenti detik itu juga. Tangan Evan mengepal. Evan bisa merasakan kuku-kukunya menancap di kulit. Appendicitis yang sudah parah. Appendicitis yang sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Apakah ini alasan di balik kebencian palsu Thania? Jika iya, mengapa?
Tanpa berkata sepatah kata pun, Evan berlari, meninggalkan Nindi di sana sendirian. Evan berlari, mengabaikan teriakan Nindi yang memanggil namanya berulang kali.
Semua terasa cepat bahkan Evan tak menyadari. Bu Riri memanggilnya, tetapi Evan tetap mengabaikannya. Ia hanya terus berlari. Lorong demi lorong ia lewati, menyalip orang-orang yang berlalu. Bahkan satpam yang berjaga pun Evan tetap tidak mengacuhkannya meskipun satpam itu berteriak ratusan kali hanya untuk menanyakan keperluan Evan datang ke kawasan rawat inap dan perawatan.
Kursi-kursi kosong menyambut kedatangan Evan di sana. Gemericik air dari pancuran patung terdengar lembut, menenangkan. Di sini Evan berdiri, di depan ruang persiapan opname.
Ia melangkah mantap, memasuki ruang itu. Di sana para perawat menoleh, menatapnya heran. Namun, tetap saja. Evan tidak memedulikannya. Diselisiknya setiap bangsal dan langkah Evan langsung terhenti.
Seorang gadis terbaring lemah, menatap ke luar jendela sendu. Baju seragamnya kusut. Cairan infus terus menetes, lalu mengalir ke tangan kurus si gadis. Tampak di sana darah merah segar, bersembunyi. Thania, gadis itu terlihat pucat. Bahkan lebih pucat dari yang biasa ia lihat.
Dengan langkah ragu, Evan mendekat dan berhenti di sebelah ranjang, membelakangi Thania.
"Kenapa kamu masih ada di sini?" Evan pikir Thania tidak sadar akan kedatangannya, tetapi ternyata justru sebaliknya. "Kenapa kamu enggak balik ke sekolah?"
"Karena, aku temanmu," jawab Evan mantap. "Aku enggak mungkin ninggalin temanku dalam keadaan seperti ini."
"Sekolah lebih penting daripada aku, Van," balas Thania ketus. "Aku enggak mau sekolahmu terhambat karena aku. Jauhi saja aku karena aku ini pembawa sial."
"Sekolah enggak bikin aku nyaman. Aku enggak mau ke sana," sahut Evan tak kalah ketus.
Thania mendelik, menatap Evan jengkel. Kenapa di saat seperti ini dia masih saja mengajaknya untuk beradu mulut? "Kenapa kamu keras kepala, sih?"
"Kenapa juga kamu menolak?" Evan balas bertanya lagi. "Aku mau bantuin kamu. Kenapa kamu menolak?"
"Aku benci kamu." Thania menyipitkan mata sebal, berharap ia bisa menggepengkan Evan melalui tatapannya. Hanya berharap.
"Kenapa kamu berbohong?" Evan terus saja bertanya. Akan tetapi, kali ini lain. Suaranya terdengar lebih bergetar dari sebelumnya. "Kenapa kamu berbohong soal penyakitmu, soal perasaanmu, soal kebencianmu padaku? Kenapa kamu berbohong?"
Thania bungkam seribu bahasa seolah Evan baru saja menerjangnya dengan senjata rahasia. Evan menang telak kali ini. Thania hanya melengos.
"Kamu enggak benci sama aku. Aku tahu itu, tapi kenapa kamu harus berbohong padaku? Apa kamu melakukan kebohongan agar aku bisa menjauh darimu? Lantas, kenapa kamu pengen aku menjauh? Apa kehadiranku mengusikmu?" Evan melontarkan beberapa pertanyaan seakan-akan tengah menginterogasi Thania dalam ruang penyidikan.
Thania bergeming. Diam membisu. Senyap, tak ada suara. Ia tak ingin membalas Evan walaupun batinnya memberontak. Ia tetap tidak ingin melakukan hal itu.
"Aku cuma mau bantuin kamu, tapi kenapa kamu menolak? Apa aku memang sudah mengganggumu?" tanya Evan seraya tersenyum getir, menahan tangis. "Kenapa semua orang tidak menginginkan aku? Apa aku memang pantas untuk dibenci? Dari kecil, aku sudah mendapatkan ini. Kenapa sampai sekarang juga masih?! Apa kesalahanku?! Apa?!"
Thania terkejut, melihat air mata bercucuran membasahi pipi. Air mata yang tak pernah Thania lihat sebelumnya. Mungkin ini air mata yang sudah lama Evan pendam. Thania memberanikan diri, memandang Evan langsung.
"Kamu enggak salah," jawab Thania datar. "Kamu emang enggak salah. Kamu enggak pernah gangguin aku, enggak pernah mengusikku juga. Kamu enggak pantes buat dibenci."
Evan terdiam, menatap Thania lekat.
"Aku emang mau kamu jauhin aku karena aku enggak mau ngerepotin kamu. Aku emang bohong soal kebencianku sama kamu karena aku enggak mau kamu berharap banyak sama aku. Aku tahu ini salah, tapi aku enggak punya cara lain," ucap Thania tenang. "Tolong, jauhkan pikiran kalau kamu pantas dibenci. Semua orang enggak pantas dibenci, termasuk kamu. Kalau kamu berpikir semua orang benci sama kamu, maka ingatlah kalau keluargamu dan semua orang yang sayang sama kamu, enggak pernah benci sama kamu. Begitu juga aku yang enggak pernah benci sama kamu."
Evan hening. Matanya berkaca-kaca lagi. Kali ini lututnya jatuh, tepat di samping ranjang Thania. Tangan kanan Thania yang pucat ia genggam, menangis di sana. Samar, Evan berkata sesenggukan, "Te-terima kasih."
Aku gelap menjadi malam
yang dapat menemani dalam senyap
Tapi, sayang
Aku gelap
yang datang menggantikan sinarmu yang terang***
A/N
Aku kembali meskipun aku pernah mengatakan penantian panjang. Namun, menurutku sehari menanti itu sudah cukup panjang.
Kala itu, aku menemukan sajak barumu. Cukup menyentuh. Sajak baru setelah kau menghapus semua sajakmu setelah aku mengetahuinya.
Apakah kau marah bila aku mengetahuinya atau justru malu karenanya?
Tolong, jangan hapus sajak itu lagi. Karena, aku menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
JugendliteraturKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...