THANIA tersenyum saat berdiri di salah satu anak tangga. Ia menuruni tangga perlahan, mendekati Evan yang berada di dekat sekretariat ROHIS. "Reihan sampai panik di sana, loh. Kamu enggak ke sana aja?"
Evan bergeming, masih menatap sosok Thania yang ada di hadapannya. Pikirannya berkata, Thania yang di depannya itu hanyalah imajinasi akibat kelamaan jadi jomblo ngenes. Namun, hatinya berkata lain. Itu bukan imajinasi.
Ya Allah, aku tahu aku ngenes, tapi ya jangan bikin aku tambah ngenes, batin Evan memohon.
"Van? Kok diem?" Thania memiringkan kepalanya.
"Ini Thania beneran atau cuma imajinasiku aja?" Evan malah jadi skeptis alih-alih curiga kalau pikirannya benar.
Sosok Thania tertawa kecil, ia bersimpuh beberapa meter di dekat Evan. "Iya, ini aku. Aku baru aja dateng sama selesai shalat. Pas nyampe sini, aku lihat kamu. Aku pikir kamu anak ROHIS yang alim-alim. Cuma aku cuekin aja. Terus pas selesai shalat aku lihat mukamu. Eh, ternyata makhluk gaib buronan kayak kamu yang shalat dhuha."
Makhluk gaib buronan kayak aku. Gitu banget ya, Than?
Evan jengah sekarang. Ia mengusap tengkuknya lembut, memalingkan wajah. Evan diam saja, bingung harus bilang apa. Evan butuh jimatnya Krishna sekarang.
"Van, dari tadi kok diem? Kamu kabur dari pelajaran Bu Depe kenapa? Ada masalah?" tanya Thania penasaran.
"Enggak," jawab Evan canggung dan singkat.
"Terus?" Thania bertanya lagi.
Evan menggeleng pelan. "Lagi pengen kabur aja."
Thania mendecak, menggeleng pelan setelah mendengar alasan klasik Evan. Gadis itu menghela napas agak panjang. "Pengen kabur. Itu alasan paling konyol yang pernah aku denger. Kamu pengen kabur pasti ada alasannya."
Evan bimbang karena tidak biasanya ia menceritakan apa yang membuat pikirannya kacau pada seorang gadis. Evan bimbang karena ini pertama kalinya ia mengobrol dengan seorang gadis yang membahas hal serumit ini. Evan bimbang kalau sebenarnya yang tengah ada di hadapannya itu bukanlah Thania.
Lelaki itu menunduk. Lagi-lagi memandang lantai berubin masjid yang mengkilap. Ia masih ragu-ragu. Dihelanya napas panjang dan Evan pun bercerita, "Aku kurang nyaman sama kelasku sekarang. Bawaannya pengen kabur terus, tapi aku udah sering kabur, sih, belakangan hari ini."
"Sudah berapa kali?" Thania bertanya, tetapi sebenarnya ia tak ingin berbincang dengan Evan. Namun, sepertinya dari raut wajah Evan, ia terlihat lebih bermasalah.
"Lima kali," jawab Evan gampang.
Thania mendelik. Lima kali kabur dari kelas? Di saat pelajaran? Kenapa anak IPS itu bandel-bandel? Thania kira semua anak IPS termasuk di sekolahnya pun tidak ada yang sebandel ini. "Astaga. Itu enggak ketahuan BK?"
"Enggak, cuma ketahuan guru yang ngajar," balas Evan santai.
"Van, enggak nyaman sama kelasmu boleh aja, tapi ya jangan kabur juga. Kasihan orang tuamu yang bayarin uang sekolah dengan susah payah, tapi kamunya malah kabur tanpa sebab." Thania memijat kening frustrasi.
Nasihat Thania sukses membuat Evan kagum. Kini hatinya sudah mantap. Simbok, siapin maskawin, Mbok. Anakmu pengen nikah sekarang.
"Soalnya, aku juga pernah kayak kamu."
Evan terkesiap. Apa ia tidak salah dengar? Thania pernah sepertinya? Kapan? Dari dulu sampai sekarang, Evan selalu mengintip kelas Thania hanya untuk melihat Thania saja. Akan tetapi, gadis itu masih berada di kelasnya. Tidak kabur.
"Kamu pernah kayak aku?" Evan bertanya lagi. "Kapan? Kok aku enggak pernah lihat? Kamu sering banget ada di kelas pas pelajaran, enggak pernah kabur kayak aku."
"Oh, ternyata emang bener kamu itu penggemar rahasiaku. Setiap hari kamu ngelihatin kelasku cuma mau lihat aku. Wah, emang aku itu menarik." Thania terbahak cukup keras dan Evan melihatnya. Tawanya cukup membuat hati Evan tenang. Tak sesuram tadi.
Akan tetapi, sekarang Evan jengah.
Thania menghentikan tawa dan mengatur napasnya. "Kata siapa aku enggak pernah kabur? Aku pernah sekali kabur tanpa ngasih kabar. Sama kayak kamu, masjid jadi tempat pelarianku."
Entah kenapa jantung Evan berdebar kencang seolah ia menemukan sesuatu yang sudah lama ia cari. Entah kenapa pula pipi Evan memerah padahal tak ada satu pun yang membuat ia malu. Entah kenapa pula hati Evan merasa tenang ketika ada seorang gadis yang sudah lama ingin Evan ajak berkenalan dan baru terpenuhi sekarang.
"Oh, iya, Van. Kamu tadi shalat dhuha, kan?" Thania tersenyum merekah. "Lanjutkan ya, shalat dhuha-nya."
***
Evan tersentak, membuka mata lebar. Dinding keramik berwarna hijau muda menyambut kedatangannya kembali ke realita. Lantas Evan celingukan, mendapati dirinya tengah tertidur sambil bersandar di salah satu pilar masjid. Masjid ini kosong. Tidak ada orang selain dirinya. Bahkan, tidak ada Thania di sini.
Jadi, itu beneran mimpi?
Evan menatap jam dinding di atas sana. Pukul setengah sembilan kurang lima menit. Pelajaran Bu Depe belum berakhir dan itu berarti ia sudah menghabiskan waktunya di masjid selama lima belas menit terakhir.
Helaan napas gusar merebak halus. Evan benar-benar malas untuk pergi ke lapangan upacara. Ia tidak ingin mengikuti pelajaran tari. Ia tidak ingin melakukan apa pun. Ia benci kelasnya sendiri tanpa sebab yang jelas.
"Bukannya ke lapangan upacara, kamu malah tiduran di sini. Udah bosen hidup apa?"
Evan menoleh malas, mendecak sebal ketika seseorang mengatakan hal yang menyebalkan kepadanya. Ketika ia menoleh, Evan terkejut setengah mati.
Apakah ini yang namanya deja vu?
***
A/N
Kamu jadi rajin shalat dhuha setelah aku shalat dhuha di hari Kamis. Aku senang kamu bisa mendekatkan diri pada Allah. Yah, walaupun kebiasaan kabur dari kelas masih melekat.
Teruntuk kalian yang menanti kisah Evan selanjutnya,
See you really soon at Youtopia!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Evan!
Dla nastolatkówKehidupan Thania Ira Pertiwi mendadak "horor" begitu ia menduduki bangku SMA. Sosok lelaki bernama Evan Dio Pratama sekonyong-konyong menjadi salah satu dari kepingan hidupnya. Alih-alih cinta pada pandangan pertama, Thania justru risi karena Evan s...