Lee Hi - My love
****
Tepukan dan sorakan riuh terdengar di penjuru Aula Apartemen ini saat Prof. Fandi menyelasaikan seminar terakhirnya mengenai dunia Psikologi yang tentunya juga dihadiri oleh beberapa Psikolog termasuk Fredi dan beberapa Dokter Psikiater dari Yayayasan Andalas – dan Anjani adalah salah satunya.
Tidak banyak yang diketahui tentang dunia psikologi bagi orang-orang di luar sana. Mungkin bagi mereka, seorang Dokter Psikiater adalah seorang Dokter yang hanya menangani orang sakit Jiwa.
Itu benar! Tidak ada yang salah. Mereka memang berbubungan dengan orang-orang sakit jiwa. Tapi kejiwaan disini berkaitan dengan kejiwaan yang berkaitan dengan mental, Phobia dan hal-hal lain seperti anak autis, dan anak-anak yang mempunyai kelainan lain.
Karena itu Seminar ini di gelar. Mereka tidak hanya mengundang para ahli yang bersangkutan tapi mereka juga banyak mengundang para orang tua, dan masyarakat yang ingin tau lebih banyak dengan dunia psikologi.
Dengan acara ini, Yayasan Andalas sudah bekerja sama dengan Yayasan Luar Biasa yang menampung anak-anak kelainan mental, anak-anak yang tidak bisa bicara, anak-anak yang sibuk dengan dirinya sendiri. Dan lagi – Anjani menjadi salah satu Dokter yang diberikan tanggung jawab untuk menangani anak-anak tersebut.
***
Anjani mendesah pelan, ia memutar keran dan mencuci tangannya di toilet setelah sibuk melayani orang-orang yang datang ke acara seminar ini hanya untuk sekedar bertanya dan mengobrol dengannya.
Jujur saja, ini adalah saat yang menyenangkan untuk Anjani. Disaat seperti ini, ia bisa meyakinkan para orang tua yang mungkin mempunyai anak yang 'berbeda' dari anak-anak yang lain untuk tidak berhenti berharap. Sama seperti orang tua yang lain, mereka juga bisa berharap untuk melihat anaknya sekolah dan bermain layaknya orang normal.
Anjani sedikit membenarkan rambutnya yang terurai saat ia menatap dirinya di pantulan cermin. Senyuman kecil tampak terangkat di sudut bibirnya sebelum ia melangkah keluar dan menemukan Fredi disana.
Fredi menatapnya dengan sinis, tampak seperti biasa. Dan Anjani tidak terlalu menghiraukannya. Ia hanya mengalihkan pandangannya malas dan berlalu melewati Fredi yang berdiri di depannya.
"Aku bertemu dengan Prof Andreas kemarin," ucap Fredi yang kini menyamakan langkahnya dengan Anjani.
"Hmm. Profesor juga mengatakannya padaku."
"Aku sudah meminta maaf padanya."
Anjani menoleh, menatap tajam Fredi. Apa maksudnya? Siapa yang minta maaf dengan siapa? Lelaki setengah perempuan itu hanya bersalah padanya. Tapi dia hanya meminta maaf dengan Prof Andreas? Apa itu masuk akal?
"Kau tidak berpikir jika kau salah sasaran? Tapi tidak masalah, setidaknya kau sudah minta maaf kan?" ucap Anjani tanpa menatap Fredi. Gadis itu semakin mempercepat langkahnya dan terhenti tepat saat Fredi yang kini menghalangi ruangnya. Lelaki itu berdiri tepat di hadapannya dan menatapnya dengan lebih bersahabat dari sebelumnya.
"Aku tidak tau, kenapa aku melakukan ini. Tapi aku benar-benar minta maaf. Mereka hanya meminta Clara untuk menjadi Dokter mereka saat itu. Dan aku tidak bisa berbuat apapun lagi."
Anjani mengangkat sebelah alisnya, menatap Fredi dengan tajam, cukup terkejut dengan apa yang lelaki itu katakan barusan. Namun, penjelasan yang cukup masuk akal. Dari awal, orang-orang itu memang menyukai Clara. Terutama Pak tua yang menyambut kedatangan mereka. Tampak sekali jika lelaki tua itu menyukai penampilan Clara yang sangat feminim dibanding dengan Anjani yang saat itu hanya memakai celana jeans, dipadu dengan kaos putih dan ditutupi dengan jaket yang juga berbahan jeans.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. PHOBIA
Romantik Ruangan terkunci Gelap Hujan Api Menyetir Suara Ambulance Rumah sakit Darah *** Raiden Hershel Ganendra, takut pada semua hal itu. Kebenciannya pada banyak hal, menyebabkan ia tidak bisa menahan emosinya dan ber...