TIGA PULUH ENAM

1.7K 131 16
                                    

Hirawan mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja, entah sudah berapa lama ia melakukan hal itu. Jujur saja, pikirannya sedang berkecamuk saat ini. Jelas-jelas di pintu masuk tadi ia melihat seorang lelaki yang sudah sangat lama tidak ia lihat, namun tidak sedikitpun ia lupakan. Karena, bagi Hirawan laki-laki itu menjadi salah satu orang yang membuat kehidupannya dan Ray berjalan cukup baik. Terlepas dari apa yang sudah Hirawan lakukan pada laki-laki itu. Namun, sayangnya lelaki itu pergi begitu saja. Bahkan tanpa sempat Hirawan mendekat dan mengajaknya berbicara.

Hirawan sangat terkejut dengan kedatangannya. Sekaligus ada sedikit rasa takut tentang masa lalu yang akan kembali terbuka. Namun, kepergian Ariz yang tiba-tiba membuat Hirawan juga tidak kalah bingung,

Kenapa tiba-tiba lelaki itu datang? Apa yang dia inginkan? Apa tujuannya? Kenapa dia pergi begitu saja?

Banyak pertanyaan yang terlintas di benak Hirawan kini.

Pandangan lelaki paruh baya itu terangkat saat sebuah ketukan terdengar, memperlihatkan Jay yang masuk di balik pintu yang sudah terbuka. Hirawan mencoba tersenyum saat Cucu sulungnya datang, menutupi semua kegelisahan yang beberapa waktu mengganggunya.

"Kakek dengar kamu pergi ke pabrik tadi."

"Hmm. Aku mampir sebentar kesana. Semuanya berjalan baik. Tidak ada yang perlu di perhatikan."

"Lalu, bagaimana dengan Ray? Meetingnya berjalan lancar hari ini?"

"Cucu Kakek itu sudah sangat berpengalaman dalam hal ini. Jadi, Kakek tidak perlu khawatir juga." Jay menarik kursi di hadapan Kakek.

Hirawan tersenyum kecil. "Bagaimana denganmu? Sejak kau datang, Kau lah yang selalu mengurus pekerjaan di lapangan, sedangkan Ray tidak pernah melakukan itu."

"Apa yang sedang Kakek pikirkan?" Jay mengernyit dalam.

"Tidak ada. Hanya saja, Kakek merasa ..."

"Jay datang bukan untuk perusahaan Kek. Lagipula, Jay tidak pernah berminat sama sekali. Kakek menyekolahkan Ray, mengenalkan dia dengan perusahaan sejak kecil. Ray pantas mendapatkannya. Kakek tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting."

"Semua orang mengatakan .."

"Dalam satu tangga tidak akan pernah ada dua orang. Setiap angka pun tidak ada yang berdampingan. Mereka hanya mempunyai urutan. Jay tidak akan pernah menggeser tempat Ray apapun alasannya Kek. Sekarang Jay hanya sibuk berpikir, bagaimana Jay bisa mengambil hati Ray kembali. Karena, Jay tidak bisa terus seperti ini. Awalnya, Jay pikir, Jay sanggup. Tapi, ternyata Jay tidak bisa terus menerus melihat Ray membenci Jay seperti ini."

"Karena itu beritahu pada Ray apa yang sebenarnya terjadi."

"Jay takut menyakitinya." Jay tertunduk, napasnya berhembus pelan. Jika saja bukan Jay yang melarang, mungkin sudah lama Hirawan akan memberitahukan hal ini pada Ray. Membuat Ray mengerti dan tidak membenci Jay seperti sekarang. Tapi sejak dulu sampai saat ini, Jay tetap pada pendiriannya untuk tidak memberitahukan Ray perihal penyakit yang ia derita.

"Hanya itu caranya, Jay. Ray membutuhkan penjelasan yang masuk akal."

"Jay akan mencoba memperbaiki semuanya tanpa menyakiti siapapun."

"Berjanjilah untuk tidak menyerah. Hmm? Berjanjilah untuk membuat Kakek bisa melihat kalian bahagia bersama sebelum Kakek pergi."

"Kakek." Mata Jay memerah saat Hirawan mengatakan hal yang baginya menjadi tanggung jawab yang besar.

"Berjanjilah."

Jay meraih tangan Hirawan, mengenggamnya erat sembari mengangguk sebagai perjanjian jika tanggung jawab besar ini akan ia ambil sebagai Cucu sulung dan sebagai seorang Kakak yang mungkin selama ini belum ia penuhi.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang