Anjani mengayun-ayunkan kaki, kepalanya mendongak menatap hujan yang tidak kunjung reda. Membuatnya tidak bisa kemanapun, bahkan untuk pulang mencari taxi. Kali ini ia terjebak, bersama hujan dan halte tepat di depan kantor Ray.
Ini bukan karena, Ray mengabaikannya atau membiarkannya pulang sendiri. Hanya saja, ia memang berniat untuk datang ke kantor Ray, namun mengurungkan niatnya karena Ray yang mengatakan ia tidak ada di kantor, dan sekarang ada di luar untuk melakukan beberapa pertemuan.
Intinya, Ray tidak tahu dia datang, dan Ray juga tidak tahu ia terjebak di halte ini bersama hujan. Namun, apa bedanya? Lagipula, ini bukan sesuatu yang di khawatirkan oleh Ray kan?
Anjani mengulurkan satu tangan, merasakan tetes demi tetes yang kini menyentuh kulit tangannya. Rasanya masih sama. Dingin dan sejuk saat Anjani menyentuhnya. Seulas senyum kini terpancar di wajah gadis itu. Lalu, pandangannya beralih saat sebuah mobil berwarna biru tua, membunyikan bel dan berhenti di hadapannya.
Anjani kembali menegapkan tubuh, ia memicingkan mata saat kaca jendela mobil tersebut kembali terbuka.
Ia tertegun dalam diam. Jay.
"Ayo masuk. Aku akan mengantarmu."
"Tidak Jay, aku bisa pulang sendiri."
"Dalam keadaan hujan seperti ini?"
Anjani terdiam. Meskipun hujan turun dengan sangat deras, bukan berarti taxi tidak ada kan? Hanya saja, Anjani memang sedang menunggu taxi sejak tadi, tapi hasilnya nihil.
Gadis itu berdiri, tepat saat Jay keluar dari mobil sambil membawa payung untuk menghampirinya.
"Ayolah. Ini bukan hal yang harus kau tolak."
"Tapi,"
"Kau adalah tunangan adikku, dan aku calon kakak iparmu. Jika, itu alasanku untuk mengantarmu. Kau tidak keberatan kan?"
Anjani mematung menatap lelaki itu. Lalu tersenyum setuju akhirnya. Jay segera mengarahkan payung pada Anjani, dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Jay tersenyum senang, sebelum ia juga ikut masuk ke dalam mobil itu.
***
"Kau bilang, kau ingin mengantarku." Anjani menatap Jay bingung. Saat ini, ia sudah keluar dari mobil di mana Jay telah memarkirnya. Ada sebuah pondok minuman di hadapan mereka.
"Ini waktu yang tepat untuk kita minum. Jay tidak pernah mengingkari jani, Anjani. Ayolah, ini tidak membutuhkan waktu berjam-jam."
Jay menarik senyum simpulnya, lalu berlalu pergi tanpa mendengar apakah Anjani setuju atau tidak. Membuat gadis itu terpaksa mengikuti dengan perasaan takut sekaligus ragu. Namun, Anjani terus melangkah mengikuti Jay.
Mereka duduk di salah satu kursi yang berada di tempat yang sangat strategis. Ada kaca jendela yang berada di samping, memperlihatkan beberapa tanaman-tanaman indah yang tumbuh subur.
Jay menyesap kopi hangatnya perlahan, diikuti oleh Anjani yang juga melakukan hal yang sama.
"Jadi, kau berhenti dari pekerjaanmu?"
"Tidak, aku hanya mengambil cuti."
"Semua ini untuk Ray?"
"Ray tidak suka rumah sakit, itu akan menyulitkannya jika aku berada di sana."
"Tapi, pada akhirnya Ray juga harus menerima pekerjaanmu kan? Mau atau tidak."
Anjani hanya tersenyum kecil mendengar itu. Tidak tahu, harus menjawab apa. Karena memang tidak ada jawaban darinya untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. PHOBIA
Romance Ruangan terkunci Gelap Hujan Api Menyetir Suara Ambulance Rumah sakit Darah *** Raiden Hershel Ganendra, takut pada semua hal itu. Kebenciannya pada banyak hal, menyebabkan ia tidak bisa menahan emosinya dan ber...