EMPAT BELAS

2.8K 224 10
                                    

Anjani menarik kursi meja rias, ia duduk di sana, menatap dirinya beberapa saat di pantulan cermin. Lalu membuka handuk yang berada di kepala, membiarkan rambut basahnya tergerai. Ia mulai memakai cream wajah, dan merapikan, membuat wajahnya tampak lebih sempurna.

Kegiatannya terhenti tepat saat mata Anjani terpaku pada cincin yang kini melingkar di jari manisnya. Ia menatap cincin itu lama, seraya mengingat apa yang Ray ucapkan semalam.

"Mulai sekarang, kau berhak menolak. Katakan, jika kau adalah tunanganku. Bawa selalu nama besarku, di saat setiap orang ingin menyakitimu. Dengan begitu, mereka tidak akan pernah bersikap seenaknya. Kau adalah bagian dari keluarga Ganendra sekarang. Tidak sembarang orang bisa menyentuhmu lagi. Aku Pastikan itu."

"Anjani!!!"

Anjani terlonjat kaget saat panggilan tegas dari Adel terdengar. Ia menoleh pada sahabatnya itu yang sedang tidur tengkurap di ranjang, mengarah padanya.

"Apa?" tanya Anjani pelan.

"Apanya yang apa? Sejak tadi lo hanya ngeliat cincin itu. Kenapa? Lo nggak percaya kalo sekarang lo udah jadi tunangannya Ray? Wuah, gue sebagai sahabat lo aja masih ngerasa jika ini mimpi."

Anjani tertunduk, memikirkan apa yang juga Adel rasakan sampai saat ini.

"Apa yang lo rasain? Senangkah? Orang-orang berpikir lo adalah cewek paling beruntung di dunia."

"Kalo gue beruntung. Gimana dengan nasibnya Kate Middleton yang menjadi istri dari Pangeran William? Lalu, yang banyak di bicarakan sekarang. Lo tau, Rain dan Kim Tae Hee kan? Mereka menikah dan gue rasa Kim Tae Hee adalah perempuan paling beruntung karena udah bisa miliki Rain."

"Rain juga beruntung bisa miliki dia," tandas Adel yang juga tidak ketinggalan dengan berita tersebut.

"Tapi, mereka beda dengan gue. Bagaimanapun, mereka benar-benar beruntung. Mereka memperlihatkan sesuatu yang nyata di hadapan publik. Sedangkan gue? Gue hanya wanita yang terjebak dengan takdir bersama lelaki itu. Lo sangat tahu, seperti apa hubungan kami."

"Lo lupa, kalo ada saat kita harus berhati-hati dengan takdir. Nasib seseorang mungkin bisa dirubah. Tapi tidak dengan takdir. Nasib ada di tangan kita, sedangkan takdir tidak bisa kita gapai."

Anjani kembali tertegun. Adel benar, dan kali ini memang sangat benar. Hanya saja, semuanya masih tidak mungkin untuk Anjani. Namun, memikirkannya membuat Anjani kembali membayangkan bagaimana Ray memegang tangannya semalam, bagaimana lelaki itu merangkul pinggangnya dengan sangat hangat. Ray memberikan rasa nyaman untuk beberapa saat. Tapi, Anjani sendiri tidak yakin apakah Ray sadar akan hal itu atau tidak.

"Lo udah kayak orang bener aja sih."

"Ye. Gue itu pengamat. Pengamat kisah orang. Meskipun kisah gue sendiri masih samar-samar sih."

Anjani terkekeh melihat sahabatnya itu menekuk wajah, sedikit kesal.

"Udah. Nggak usah inget-inget Victor lagi. Tuh cowok udah mati di telan bumi. Mendingan lo cari gebetan baru deh. Lo kan ratunya kalo soal gituan."

"Ih apa sih. Nggak ada bahasan lain apa? Setahu gue, pembahasan yang kayak gini hanya terjadi pada anak SMA. Nggak usah alay deh."

Anjani mengerutkan keningnya, tidak setuju dengan apa yang dilontarkan Adel barusan. Gadis itu menggeleng pelan, memutar kembali tubuhnya, dan mulai memakai make up untuk segera bersiap.

"Gantik topik! Jadi, hari ini apa yang bakal lo lakuin?"

"Ke klinik, kayaknya. Gue udah masukin barang-barang di sana. Tinggal ngerapihin aja. Terus, gue juga mungkin bakal ke kantor Ray hari ini. Dia nyuruh gue kesana."

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang