TIGA PULUH

2.5K 173 23
                                    

Ray berjalan dengan tertunduk sejak pertengkarannya dengan Kenzo tadi. Ray pergi ke tempat dimana ia bisa menenangkan diri sebelum kembali masuk ke dalam rumah sakit. Sedangkan ia sendiri tidak tahu dimana Kenzo sekarang. Karena sejak kejadian pagi tadi juga, Kenzo menghilang tanpa pamit lebih dulu.

"Apa yang terjadi?" Suara lembut seseorang membuat Ray terhenti. Ia berbalik dan menoleh, sedikit melebarkan matanya saat melihat Anjani yang sedang berdiri bersandar di dinding dengan tiang infus yang ia bawa di sampingnya.

"Hari dimana Ayah Anjani datang, dan kau pergi tanpa bertemu dengannya. Apa kau tahu dia melihatmu? Dia sempat menyusulmu tapi kau tetap tidak menoleh sedikitpun."

"'Kenapa dia pergi?', 'Apa dia mendengar semuanya, lalu dia pergi?','Dia pasti terkejut','Hidupku pasti sangat memalukan di matanya'. Mungkin saja, itu hal-hal yang dipikirkan oleh Anjani. Kau memilih pergi, untuk membuatnya nyaman dengan sendiri. Tapi, nyatanya kau malah membuatnya kecewa."

Apa yang dikatakan Kenzo tadi terngiang seketika dibenak Ray. Ia menatap Anjani cukup lama, sampai akhirnya ia sadar dan langsung mendekat dengan wajah kekhawatiran.

"Apa yang kau lakukan disini? Apa Dokter sudah boleh menyuruhmu untuk turun dari ranjang?" Satu tangan Ray memegang wajah Anjani, membuat keduanya cukup canggung setelah itu. "Kau baru saja sadar, kenapa kau malah berjalan-jalan seperti ini?" tanya Ray lagi, yang kini sudah sedikit sopan sembari menurunkan tangannya.

"Aku baik-baik saja."

"Aku tidak percaya dengan kata-kata itu lagi," jawab Ray dengan tatapan tajam. Namun di detik berikutnya, lelaki itu mendesah pasrah. Sadar akan apa yang ia lakukan. Disaat seperti ini, dia bukanlah orang yang bisa marah seenaknya. Karena nyatanya, mungkin Anjani lah yang saat ini sedang sangat kesal atau bahkan ingin memakinya. Tapi saat Ray menatap gadis itu, Ray tahu jika ia sedang menahan semuanya.

Tanpa menunggu jawaban Anjani, Ray perlahan memegang tiang infus di samping gadis itu. "Ayo kembali ke kamar, aku akan mengantarmu."

Ray mendorong tiang infus tersebut. Sedangkan Anjani berjalan perlahan tanpa penolakan.

#

Ray menaruh tiang infus yang sejak tadi ia bawa di sisi ranjang Anjani, bersama dengan Anjani yang kini sudah kembali naik di atas ranjang. Ray menarik selimut, saat kedua kaki Anjani sudah berada di atas.

Keduanya saling menatap cukup lama dalam diam. Berkecamuk di dalam pikiran dan pertanyaan masing-masing yang tidak bisa mereka ucapkan.

"Kau tahu apa yang kupikirkan saat mendengar kabar tentangmu?" Ray tersenyum kecil seraya duduk di sisi ranjang Anjani. "Itu pertama kalinya aku merasa takut setelah 17 tahun yang lalu. Aku takut dengan Rumah sakit. Tapi, ketakutanku mengenai keadaanmu itu lebih besar. Aku tidak tahu ketakutan itu bisa membuatku melawan ketakutanku sendiri."

Ray menatap Anjani yang masih terdiam menatapnya. Sebenarnya itulah salah satu hal yang ingin ditanyakan Anjani. Terakhir kali saat ia membawa Ray ke rumah sakit. Lelaki itu bahkan menunjukkan kemungkinan jika itu saat-saat terakhir ia bernapas, saking buruknya. Tapi yang Anjani lihat sekarang, bahkan lebih baik dari yang ia bayangkan.

"Kau benar, selama ini aku hanya menutup diri, dan bersembunyi dalam ketakutan. Hal itu juga yang membuatku melupakan tentang kecelakaan malam itu. Aku hanya mengingatnya dari mimpi-mimpi yang selalu hadir. Tapi, sekarang tidak lagi. Aku akan mencoba melawannya, sebisa mungkin untuk menghilangkan semua ketakutan itu."

"Kau harus melakukannya." Tatapan Ray semakin dalam saat 3 kata itu keluar dari mulut Anjani yang sejak tadi hanya diam.

"Aku bisa memintamu satu hal?"

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang