DUA PULUH DUA

2.1K 188 13
                                    

Tiga hari sudah Ray diam dan selalu menghindarinya. Ray memang pemarah, tapi ini pertama kalinya untuk Anjani menerima sikap yang sungguh keras dari lelaki itu. Bahkan setiap panggilan dan pesan darinya, hanya diabaikan oleh Ray tanpa di jawab satupun.

Ini seperti, Ray ingin mengakhiri semuanya. Namun, tanpa penjelasan apapun. Seperti Ray ingin membuatnya menjauh, namun tetap membuat Anjani menunggu. Tidak menjelaskan apapun, tidak memberikan kesempatan apapun, tidak melihat sedikitpun. Seolah Ray sedang memberikan hukumat mati yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.

Jujur saja, diam adalah hukuman yang paling menyakitkan untuk Anjani. Akan lebih baik, jika Ray marah padanya, membentaknya, mengatakan apapun, meluapkan semuanya. Itu lebih baik, daripada diam dan tidak berbicara sedikitpun.

Malam ini setelah pulang dari klinik, Anjani langsung pergi menuju apartemen Ray. Berharap jika ia bisa mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Setelah sebelumnya Ray selalu menghindar dan terus mengabaikannya.

Cukup lama Anjani menunggu di depan pintu. Sama sekali tidak berniat untuk masuk meskipun ia tahu password pintu apartemen Ray. Ia hanya berharap, setidaknya malam ini Ray mau berbicara dengannya, meskipun itu hanya sedikit.

Ia langsung menegapkan tubuh saat seseorang yang ia tunggu datang. Di ujung lorong Ray sempat terhenti. Kenzo yang berada di sampingnya tampak menepuk pundak Ray dan mundur perlahan untuk pergi meninggalkan Ray dan Anjani hanya berdua.

Ray menghela napas pelan, lalu kembali berjalan dengan tatapan tajam lurus tanpa menatap Anjani.

"Maaf karena tidak menghubungimu lebih dulu," ungkap Anjani yang langsung berdiri di hadapan Ray tepat saat lelaki itu mendekat. "Aku pikir kau akan mengabaikanku lagi, dan mungkin tidak akan pulang malam ini jika aku menghubungimu."

Ray mulai menurunkan tatapannya pada Anjani dengan sorot yang masih sangat tajam, tanpa tanggapan apapun.

"Banyak yang ingin ku katakan, Ray. Tapi entah kenapa, saat berada di hadapanmu aku bahkan tidak tahu harus mengatakan apa. Yang aku tahu saat ini hanya, maaf untuk malam itu. Aku benar-benar minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya..."

"Sudah selesai kan?"

Anjani terpaku, saat satu pertanyaan itu meluncur dari mulut Ray.

"Tidak ada yang perlu di jelaskan, dan aku pikir hanya satu kata itu yang perlu ku dengar. 'Maaf'. Sekarang aku sudah mendengarnya. Jadi, pergilah. Tidak ada gunanya kau menunggu disini."

Ray beralih dari hadapan Anjani, berharap untuk masuk ke dalam. Namun, saat itu juga Anjani menahan tangan Ray, menggenggamnya sembari tertundUk.

"Kau tidak bisa pergi seperti ini lagi." Anjani mengangkat wajah perlahan, menatap Ray dengan mata memerah tanpa rasa takut sedikitpun. Namun Ray hanya menatapnya dengan dingin, dan perlahan memegang tangan Anjani untuk melepaskan genggaman gadis itu dari tangannya.

Ia berlalu masuk dan langsung menutup pintunya begitu saja, tanpa memberikan Anjani kesempatan untuk berbicara lagi. Membiarkan gadis itu berdiri mematung, dan menangis atas sikapnya.

Anjani hanya bisa tertunduk di posisinya, dan menangis saat Ray kembali pergi tanpa mengatakan apapun.

Sedangkan, di dalam. Ray tampak menghela napas resah, membuang napas keras seakan melepaskan semua beban dan rasa sakit yang ia rasakan. Ia berusaha untuk memberi sedikit ruang di dadanya, atas semua rasa yang kini tengah ia rasa.

Ray menyandarkan tubuhnya di pintu, dengan wajah tertunduk dan penyesalan yang begitu dalam. Kejadian malam itu, saat dimana ia melihat Jay menarik Anjani ke dalam pelukannya, terbayang dan terus memutar di memori kepala Ray. Hal itu yang membuat hatinya kembali keras, ia kembali menggenggam kedua tangannya erat. Memandang ke depan dengan sorot mata tajam dan dingin.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang