DUA PULUH - 2 (Dua)

2.2K 184 5
                                    

Pandangan Divya berkeliling, mencari sosok Jay di ruangannya. Namun nihil, ruangan ini kosong. Hanya ada musik yang menyala dengan volume kecil, dan laptop dengan layar yang terbuka.

Perlahan Divya berjalan ke arah meja kerja Jay, pandangannya tertuju pada Laptop lelaki itu yang menyala. Divya melihat ada sebuah surat yang masuk, yang sedang dibuka Jay saat ini ketika gadis itu sampai di samping meja kerja Jay. Namun, sebuah suara membuatnya terlonjak dan langsung beralih menatap seseorang yang baru saja datang.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Jay dengan tatapan tajam, seraya berjalan menuju Divya, lebih tepatnya menuju meja kerjanya dan langsung menutup laptop di depannya dengan cepat. Divya menatapnya bingung, namun berusaha untuk tetap tenang.

"Aku pikir kau ada di dalam. Tapi, Jay .. itu surat dari rumah sakit kan?" tanya Divya cukup ragu. Karena jelas sekali, ia sempat melihat KOP surat yang tertera di layar tadi.

"Hmm."

"Surat apa itu?"

"Bukan hal yang penting. Hanya hasil dari penelitianku. Kenapa kau tidak bilang, jika kau akan datang?"

"Aku pikir, kau selalu ada di kantor. Jadi untuk apa aku bilang. Aku ingin mengajakmu makan siang. Kau tidak keberatan kan?"

"Tidak. Tapi, tidak untuk saat ini. Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan. Maaf. Aku akan menghubungimu nanti."

Jay membawa laptopnya, lalu sedikit menunduk, sebelum ia pergi meninggalkan Divya yang hanya bisa terdiam dan terpaku menatapnya.

Divya menarik napas dalam setelah Jay meninggalkan ruangan ini. Entah apa yang terjadi pada lelaki itu. Sudah beberapa hari ini Jay bersikap sangat ketus padanya. Divya selalu mencoba untuk mendekatkan jarak di antara mereka, tapi Jay seakan mencoba untuk melebarkan jarak itu kembali.

Jika dikatakan sulit, tentu ini sangat sulit. Bagaimana Divya bertahan dengan seseorang yang sama sekali tidak menginginkannya. Divya memang berhasil memiliki Jay untuk berada di sisinya, tapi tidak untuk hati lelaki itu.

Divya berjalan keluar dengan rasa kecewa. Tentu. Lagi-lagi Jay kembali mengabaikannya. Ia berbalik saat sudah menutup pintu. Senyumnya terkembang seketika saat ia melihat Anjani yang kini sedang berjalan ke arahnya.

"Baru saja aku melihat Jay keluar," ucap Anjani.

"Hmm. Kami baru saja bertemu."

"Kalian tidak pergi bersama?"

"Dia lagi banyak kerjaan."

Anjani mengangguk pelan tanpa pertanyaan lagi.

"Kau pasti ingin menemui Ray kan?"

Anjani mengangguk pelan, sembari memperlihatkan kotak bekal yang ia bawa. "Ray memintaku untuk membawa ini. Kalau kau mau, kau bisa ikut Div. Kebetulan aku bawa banyak, sekalian untuk Kenzo juga. Ayo. Kau mau kan?"

"Aku takut mengganggu. Lagipula, aku sudah ada janji sama seseorang. Mungkin lain waktu. Tidak masalah kan?"

"Ahh. Baiklah."

Anjani mengangguk pelan, seraya sedikit bergeser. Memberi Divya jalan untuk pergi dari hadapannya.

"Anjani?"

Anjani kembali berbalik, saat Divya memanggilnya.

"Ray tidak pernah meminta seseorang untuk membawakan makan siangnya. Bahkan saat Kenzo ingin membelikannya makan siang. Dia selalu menolak."

Anjani terdiam dengan senyum yang perlahan memudar saat mendengar pernyataan Divya.

"Dia pasti sangat menyukai masakanmu, atau dia sangat senang jika kau yang menyiapkannya. Aku hanya ingin bilang, Ray tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ini benar-benar pertama kali." Divya tersenyum kian lebar, sebelum ia kembali berbalik meninggalkan Anjani yang tertegun atas apa yang barusan wanita itu katakan.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang